Potret knjungan Tito ke Jakarta tahun 1958-1959, ketika Presiden Ir. Soekarno memberikan angklung kepada Josip Broz Tito. (commons.wikimedia.org/Adligat/Unknown photographer)
Yugoslavia (enam negara yang terdiri dari Kroasia, Bosnia, Serbia, Slovenia, Makedonia, Montenegro, dan wilayah Kosovo), semasa Perang Dingin dipandang sebagai salah satu dari sedikit kisah sukses Komunis. Di bawah kepemimpinan Josip Broz Tito, Beograd (ibu kota Serbia) berani menentang pemerintahan Joseph Stalin. Mereka menjaga perbatasannya agar tetap terbuka sehingga memudahkan warganya untuk datang dan pergi, dan dipandang sebagai Sosialis. Oleh karena itu, Amerika tertarik pada “Komunisme lunak” Yugoslavia ini, sehingga AS menggelontorkan miliaran dolar untuk mendukung perekonomian Yugoslavia, seperti yang dilaporkan Kebijakan Luar Negeri AS.
Ketika Josip Broz Tito meninggal pada tahun 1980, perdana menteri dari Inggris dan Perancis menghadiri upacara pemakamannya. Wakil Presiden Amerika Walter Mondale dan Presiden Irak Saddam Hussein juga hadir. Bahkan ketika Komunisme runtuh, Yugoslavia masih bertahan, meskipun tanpa Slovenia atau Kroasia, tapi semua berubah seiring berjalannya waktu.
Pada bulan Juni 1991, negara kecil Slovenia mendeklarasikan kemerdekaan, mencetuskan perang sepuluh hari yang menewaskan kurang dari 100 orang, serta memicu kebakaran besar di Balkan. Kroasia kemudian berperang, Bosnia terpuruk dalam perang saudara, Kosovo berpisah dari Serbia dalam konflik berdarah, dan Makedonia diguncang pemberontakan etnis. Pada tahun 2008, Yugoslavia menjadi tujuh negara terpisah dan lebih dari 133.000 orang tewas. Sayangnya, visi Tito tidak dapat bertahan lama.