Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
peninggalan Mesir Kuno (pexels.com/MEUM MARE)
peninggalan Mesir Kuno (pexels.com/MEUM MARE)

Tak ada peradaban yang lebih mistis, ajaib, dan misterius dari pada Mesir Kuno. Yap, lihat saja Piramida Giza, Sphinx Agung, padang pasir yang luas, firaun yang seperti dewa, kekayaan Sungai Nil, dan jajaran dewa berkepala binatangnya. Ada pula makam emas yang menyimpan mumi berusia ribuan tahun di sakrofagus, tanda kebesaran tongkat dan cambuk firaun, hieroglif yang dikodekan dengan makna rahasia, nama-nama yang unik seperti Tutankhamun, Ramses, Nefertiti, Cleopatra. Ditambah lagi, peradaban Mesir Kuno pernah disebutkan dalam Al-Qur'an, ketika Nabi Musa memperingatkan Firaun untuk kembali ke jalan Allah SWT.

Tak hanya kita masyarakat awam, para ahli yang mempelajari sejarah Mesir selama beberapa dekade juga dibuat kebingungan untuk memecahkan misteri tentang peradaban ini. Namun, meskipun sudah dilakukan penelitian arkeologi selama berabad-abad, banyak misteri tentang Mesir Kuno yang belum terpecahkan. Seperti, apakah para pekerja membangun Piramida Giza menggunakan jalan landai, katrol, dan sebagainya? Apa sebenarnya arti Sphinx? Apakah Cleopatra dimakamkan di Alexandria, dan kemudian makamnya ditelan oleh banjir besar? Apa yang terjadi pada tubuh Nefertiti? Rupanya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan misteri yang belum terpecahkan dari Mesir Kuno, lho.

Namun, jangan bersedih hati, sedikit demi sedikit, para peneliti dari semua golongan dan disiplin ilmu dengan tekun berhasil mengikis kumpulan penemuan baru yang mengungkapkan informasi dan pengetahuan tentang Mesir Kuno. Meskipun beberapa penjelasannya masih diperdebatkan, tetapi banyak pertanyaan tentang Mesir Kuno ini yang sudah terjawab.

1. Jean-Francois Champollion berhasil mengungkap semua aksara Mesir Kuno

tulisan di Batu Rosetta (commons.wikimedia.org/Thomas Quine)

Hieroglif sangat terkenal di Mesir Kuno. Namun, masyarakat Mesir Kuno tidak hanya menulis menggunakan hieroglif, lho. Ada Demotik, yang merupakan jenis aksara sehari-hari masyarakat Mesir Kuno yang terlihat seperti bahasa Arab. Lalu ada pula hieratik.

Selain itu, beberapa masyarakat Mesir di bawah dinasti Ptolemeus (sekitar 323 hingga 30 SM) menulis menggunakan huruf Yunani karena elite penguasanya adalah orang Yunani Makedonia. Bahasa mereka adalah Koptik. Nah, berkat bahasa Koptik inilah, orang Prancis bernama Jean-François Champollion berhasil mengungkap semua aksara Mesir Kuno lainnya pada 1822. Pasalnya, Champollion menguasai bahasa Koptik ini.

Bayangkan saja ketika peneliti dihadapkan dengan ribuan papirus dan prasasti Mesir Kuno dalam aksara hieratik, demotik, hieroglif, dan Koptik, tetapi tidak dapat membacanya. Jean-François Champollion berhasil menggunakan Batu Rosetta, yang berisi dekrit di bawah Raja Ptolemeus V dari dinasti Ptolemeus untuk mengungkap semuanya.

Adapun, Batu Rosetta ditulis dalam aksara demotik, hieroglif, dan Koptik, sehingga Jean-François Champollion bisa membacanya. Bahasa Koptik pun akhirnya menjadi jembatan antara aksara, dan misteri Mesir Kuno mulai terpecahkan. Jean-François Champollion sendiri berhasil menjadi orang pertama yang mampu membaca hieroglif Mesir Kuno setelah 1.400 tahun lamanya.

2. Menurut ahli Mesir, Dr. Janet Davey, mumi berambut pirang merupakan rambut alami, bukan hasil proses mumifikasi

mumi pra-dinasti Gebelein di British Museum yang berasal dari 3.400 SM (commons.wikimedia.org/Fæ)

Mumi Gebelein ditemukan pada 1896 di sebuah kuburan pasir gurun yang kering dan dangkal. Namun, penemuan mumi ini membuat para peneliti kebingungan. Meskipun demikian, mumi ini menjadi salah satu mumi tertua yang ditemukan dari Mesir Kuno. Mumi ini berasal dari sekitar 3400 SM, yaitu Mesir pra-dinasti atau sebelum firaun pertama, Menes, menyatukan negara tersebut.

Dinamai berdasarkan wilayah tempat ia ditemukan, mumi Gebelein rupanya terawetkan dari proses mumifikasi yang cukup rumit. Rupanya, pasir kering di Mesir-lah yang membuat pengawetannya menjadi sempurna. Di sisi lain, ia kemungkinan dibunuh, karena tulang belikat dan tulang rusuknya menunjukkan kerusakan, seperti adanya tusukan belati sepanjang 13 sentimeter. 

Mumi Gebelein juga dijuluki "Ginger" karena memiliki rambut berwarna merah atau pirang. The Sydney Morning Herald melaporkan bahwa pada 2016, ahli Mesir bernama Dr. Janet Davey dari Institut Kedokteran Forensik Victoria di Australia menemukan bahwa beberapa orang Mesir Kuno memang memiliki rambut alami berwarna pirang, bermata biru, dan berkulit putih. Rambut pirang ini tersebar di antara penduduk Mesir Kuno selama periode Yunani-Romawi, yang berlangsung dari 332 SM hingga sekitar 395 M. Bisa dibilang, mereka memiliki ras campuran hingga terlahir dengan rambut pirang.

Dulu, peneliti percaya bahwa rambut merah atau pirang pada mumi terjadi karena proses mumifkasi yang menggunakan bahan seperti henna. Yap, henna berasal dari daun tanaman henna (Lawsonia inermis). Kemungkinan, Firaun Ramses II juga mewarnai rambutnya dengan henna untuk menutupi ubannya. Selain itu, beberapa mumi Mesir juga memiliki kuku merah karena henna ini.

3. Anak sungai Ahramat memasok bahan bangunan untuk para pekerja piramida di Mesir Kuno

penemuan anak Sungai Nil (Ahramat) yang telah lama hilang, yang membantu pembangunan Piramida Mesir Kuno (commons.wikimedia.org/Eman Ghoneim)

Acara Ancient Aliens yang terkenal dengan teori konspirasinya di History Channel, pernah menjelaskan bahwa tidak mungkin manusia pra-modern dapat membangun Piramida Giza di peradaban Mesir Kuno. Mereka berteori, yang membangun Piramida Giza adalah alien. Namun, ada penjelasan yang lebih rasional terkait hal ini. Meskipun tidak seratus persen menjawab bagaimana pekerja Mesir Kuno membangun piramida.

Pada 2024, para peneliti membuat penemuan monumental yang menjelaskan bagaimana para pekerja mengangkut semua balok batu ke lokasi pembangunan mereka. Rupanya, Sungai Nil digunakan untuk mengangkut bahan-bahan ini, tetapi pertanyaannya, sungai itu berjarak 6 kilometer ke arah timur. Jarak ini dirasa cukup jauh untuk membawa 2,3 juta balok batu, dengan masing-masing beratnya antara 2,5 hingga 15 ton. 

Seperti yang dilaporkan Euro News, para peneliti dari University of North Carolina Wilmington menemukan cabang Sungai Nil yang hilang. Anak sungai ini membentang persis di sepanjang rute tempat ke-31 piramida Mesir berada. Anak sungai bernama Ahramat yang hilang itu panjangnya 62,7 kilometer dan terkubur oleh gurun Mesir sejak lama. Sepertinya, anak sungai Ahramat ini memasok bahan bangunan untuk para pekerja piramida, dari Piramida Lisht di Mesir Hulu hingga Piramida Giza di Mesir Hilir.

4. Kutukan firaun terjadi karena makam Mesir Kuno menyimpan berbagai macam bakteri, zat kimia, dan jamur berbahaya

Howard Carter dan Lord Carnarvon di pintu ruang pemakaman Mesir Kuno (commons.wikimedia.org/Harry Burton)

Siapa yang sudah tahu tentang kutukan firaun? Yap, mungkin bukan dari buku sejarah, tetapi film. Entah itu kutukan mumi, atau kutukan Raja Tut (Tutankhamun). Seperti tulisan yang ditemukan di sebuah makam Mesir Kuno, "Terkutuklah mereka yang mengganggu firaun. Mereka yang merusak segel makam ini akan menemui ajal karena penyakit yang tidak dapat didiagnosis oleh dokter mana pun."

Terkait benar atau tidaknya kutukan ini, faktanya memang benar bahwa penjelajah yang masuk ke dalam makam Kerajaan Mesir Kuno sering kali terserang penyakit secara mendadak dan terkadang berujung kematian. Lord Carnarvon, orang yang membiayai penggalian makan Raja Tut, meninggal karena keracunan darah, beberapa bulan setelah mengunjungi makam Firaun Tutankhamun. Sekitar 10 tahun kemudian, 6 dari 26 orang dalam ekspedisi itu juga meninggal dunia.

Seperti yang diungkapkan National Geographic, makam Mesir Kuno disegel selama ribuan tahun, dan jenazah mumi di dalamnya membusuk. Otomatis, jamur dan bakteri berkembang biak dalam makam tersebut, tanpa ventilasi udara sama sekali. Selain itu, mumi membawa dua jenis jamur berbahaya, yaitu Aspergillus niger dan Aspergillus flavus. Jamur ini membahayakan sistem kekebalan tubuh, terutama bagi mereka yang kondisi kesehatannya lemah. Paru-paru manusia pun sangat rentan dengan jamur jenis ini.

Tak hanya itu, dinding makam ditutupi oleh banyak bakteri berbahaya. Udara di dalam makan juga dipenuhi dengan senyawa amonia, formaldehida, dan hidrogen sulfida, yang dapat menyebabkan pneumonia, dan berujung kematian. Kadang-kadang, kelelawar juga tinggal di makam dan membawa jamur penyakit yang juga menyerang paru-paru. Jadi kesimpulannya, kutukan firaun merupakan kutukan penyakit dari tempat yang tidak berventilasi.

5. Raja Cambyses II dan pasukannya tidak mati karena badai pasir dan kehabisan perbekalan, tapi dikalahkan oleh pasukan Firaun Petubastis III

tentara Cambyses II yang hilang menurut ukiran abad XIX (commons.wikimedia.org/Jacob Abbott)

Mungkinkah pasukan yang berjumlah 50.000 orang bisa hilang di padang pasir dan tidak pernah ditemukan? Inilah misteri pasukan raja Persia bernama Cambyses II. Sebagaimana yang diceritakan dalam teks sejarah, Cambyses II memimpin pasukannya melintasi padang pasir Mesir bagian barat untuk menginvasi kota Amon di Mesir pada 524 SM.

Dalam buku The Histories, yang diterbitkan antara 426 hingga 415 SM, sejarawan Yunani Herodotus menulis, "Namun sebelum pasukannya (Cambyses II) menyelesaikan seperlima perjalanan mereka, mereka kehabisan perbekalan, dan setelah makanan habis, mereka memakan binatang pengangkut (seperti unta atau kerbau) sampai tidak ada satupun yang tersisa." Akhirnya, pasukan tersebut menjadi kanibalisme, dan mereka semua mati di padang pasir.

Namun, Herodotus hanya mengulang cerita yang pernah didengarnya. Jadi, kebenaran kisah tersebut masih menjadi misteri selama lebih dari 2.500 tahun. Banyak arkeolog yang berusaha mencari sisa-sisa pasukan Cambyses II di gurun sejak abad ke-19. Namun, belum ada yang bisa dijadikan petunjuk.

Pada 2014, Universitas Leiden membuat terobosan. Seperti yang dilaporkan Science Daily, Profesor Universitas Leiden bernama Olaf Kaper menemukan bahwa penerus pemerintahan Cambyses II, yaitu Raja Persia Darius I, berusaha membuat skenario dan cerita palsu. Faktanya, Firaun Petubastis III berhasil menyergap Cambyses II di tengah jalan dan menghabisi pasukannya. Kisah kanibalisme dan tersesat di gurun hanyalah propaganda politik yang digunakan Raja Darius I untuk menyembunyikan rasa malunya karena Cambyses II ditangkap musuh.

6. Raja Tut meninggal akibat infeksi yang terjadi setelah kecelakaan

replika Tutankhamun mengendarai kereta perang di Museum Umum Milwaukee di Milwaukee, Wisconsin (commons.wikimedia.org/Michael Barera)

Peradaban Mesir Kuno berada di bawah kekuasaan firaun selama lebih dari 3.000 tahun lamanya. Namun, kita hanya mengetahui beberapa nama firaun saja. Ambil contoh Tutankhamun, raja muda yang hidup sampai usia 18 atau 19 tahun dan meninggal pada 1.323 SM.

Banyak orang mengenal Raja Tut, begitu ia dijuluki, karena makamnya yang dipenuhi harta karun dan satu benda aneh yang membingungkan para ilmuwan, atau topeng kematian emasnya. Adapun, Raja Tut juga menderita masalah fisik yang terkait dengan faktor genetik. Tak hanya itu, kematian mendadak Raja Tut juga menjadi misteri.

Pada 2010, para peneliti menemukan bukti malaria pada muminya, yang dikombinasikan dengan penyakit tulang degeneratif yang dideritanya, yang kemungkinan membuatnya meninggal. Namun, pada 2023, egyptologist bernama Sofia Aziz memiliki teori lain terkait penyebab kematian Raja Tut. Seperti yang dijelaskan BBC Science Focus, ia merujuk pada patah tulang di kaki Raja Tut yang disebabkan oleh tabrakan kereta perang berkecepatan tinggi.

Namun, teori ini bertentangan dengan kesimpulan yang dikemukakan pada 2010, karena penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa Raja Tut bahkan tidak dapat berdiri di kereta perang karena kakinya pengkor (kelainan akibat perkawinan sedarah). Sofia Aziz kembali berteori bahwa Raja Tut mengemudi dalam keadaan mabuk.

Jadi, karena sistem kekebalan tubuh Raja Tut sangat lemah, luka terbuka dan patah tulang akibat tabrakan kereta perang itu menyebabkan infeksi yang tak kunjung sembuh, yang akhirnya merenggut nyawanya. Teori ini memang tidak diterima secara universal, tetapi ini membantu mengungkap salah satu misteri terlama dari Mesir Kuno.

7. Poros Piramida Giza sejajar dengan rasi bintang

'poros udara' misterius di dinding utara ruang sarkofagus di dalam piramida Khufu (commons.wikimedia.org/Vincent Brown)

Di Piramida Besar di Giza, ada serangkaian terowongan yang rumit dan sangat presisi. Terowongan ini mengarah dari makam ke udara di luar. Pada 1600-an, para peneliti berasumsi bahwa poros terowongan itu (semacam lubang di terowongan yang menuju ke atas) adalah cara bagi orang yang masih hidup untuk berkomunikasi dengan Firaun Khufu di dalam atau untuk menurunkan makanan kepadanya.

Bagi orang Mesir Kuno, kehidupan di Bumi hanyalah awal menuju akhirat. Ketika seseorang meninggal, jiwanya harus melakukan perjalanan yang berbahaya untuk tiba di tempat peristirahatan terakhirnya. Oleh karena itu, muncul hipotesis "poros bintang".

Seperti yang dijelaskan Discover Magazine, poros-poros di Piramida Besar ini menunjuk ke berbagai benda langit yang dianggap masyarakat Mesir Kuno, tidak dapat binasa, khususnya Sabuk Orion. Mereka beranggapan kalau poros-poros itu membantu menuntun firaun yang telah meninggal, yaitu Khufu, ke akhirat. 

Di luar gagasan dasar ini, pada 1960-an, Alexander Badawy dan Virginia Trimble menyatakan bahwa poros yang mengarah keluar dari kamar ratu menunjuk ke sebuah rasi bintang di Ursa Mayor, sementara poros lainnya menunjuk ke Sirius, rasi bintang paling terang yang terlihat di langit. Teori tersebut memang masih dipertanyakan, tapi jika itu benar, maka kesejajaran Piramida di Giza dan poros-porosnya sungguh luar biasa.

Misteri Peradaban Mesir Kuno memang sangat nikmat untuk diperbincangkan. Dari obrolan santai hingga diskusi berat, misteri Mesir Kuno memang bikin siapa saja penasaran untuk mencari jawabannya. Nah, meski masih diperdebatkan, tapi teorinya cukup masuk akal. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team