TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Tahap Kesedihan setelah Musibah Datang, Perlu Dipahami

Sebelum lapang dada, apa yang kita rasakan?

ilustrasi laki-laki yang sedih dan berduka (pixabay.com/StockSnap)

Hidup tak pernah datar. Hidup juga tidak selalu naik atau selalu turun. Dalam hidup, manusia bisa mendapatkan berkah, juga bisa mendapatkan musibah. Menariknya, manusia tidak akan tahu kapan hal baik atau buruk akan menimpa.

Saat hal buruk menimpa, nyatanya kondisi psikis manusia akan melewati beberapa tahap untuk bisa menerima hal tersebut. Konsep inilah yang disebut sebagai Five Stages of Grief atau Lima Tahap Kesedihan. Yuk, kenali konsep ini!

Mengenai model Kübler-Ross

Elizabeth Kübler-Ross (missfoundation.org)

Five Stages of Grief pertama kali diperkenalkan pada 1969 oleh psikiater Swiss-Amerika Serikat (AS), Elizabeth Kübler-Ross (1926–2004), dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying. Oleh karena itu, lima tahap kesedihan ini juga umumnya dikenal sebagai "Model Kübler-Ross".

Untuk meneliti five stages of grief tersebut, Kübler-Ross meneliti para pasien penyakit terminal saat menghadapi kematian atau mendengar kabar mengenai dirinya. Kübler-Ross melihat bahwa ada lima emosi yang umum terlihat pada pasien, yaitu:

  • Penyangkalan (Denial)
  • Kemarahan (Anger)
  • Tawar-menawar (Bargaining)
  • Depresi (Depression)
  • Penerimaan (Acceptance)

Namun, lima tahap ini sebenarnya tidak hanya berlaku untuk kehilangan orang tercinta saja, melainkan juga terhadap musibah lain seperti putus dengan pacar hingga kehilangan pekerjaan. Jadi, apa yang perlu kita ketahui mengenai five stages of grief ini?

1. Denial — penyangkalan

ilustrasi seseorang sedang menyangkal atau menolak (losspreventionmedia.com)

Saat menghadapi duka atau berita duka, reaksi umum seseorang pertama adalah ia akan menyangkal hal tersebut terjadi pada dirinya. Musibah muncul tiba-tiba dan sulit bagi kita untuk memprosesnya dengan instan. Jadi, menyangkal dianggap bisa membantu seseorang menekan rasa sakit dari terkena musibah tersebut.

Sebagai contoh, kita menerima kabar duka bahwa orang yang kita cintai meninggal dunia padahal baru kemarin bertemu. Kemungkinan besar, hal pertama yang terbesit dalam pikiran saat mendengar kabar tersebut adalah,

"Enggak mungkin! Baru kemarin bertemu."

Kita mungkin memikirkan kenangan bersama mendiang dan bagaimana kita akan hidup tanpanya. Begitu banyak kesedihan yang dirasakan, denial memperlambat proses ini agar kita bisa mencerna informasi kedukaan satu per satu. Manfaatnya, kita jadi tak kewalahan oleh duka.

2. Anger — kemarahan

ilustrasi perempuan yang sedang marah dan berteriak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Setelah menyangkal, emosi kedua yang terjadi adalah kemarahan. Marah pada siapa? Keadaan, diri sendiri, takdir, hingga Tuhan! Marah itu normal karena bagian dari diri kita mencoba untuk menyesuaikan diri dan kita merasa tak nyaman karenanya sehingga kita marah.

Setelah menyangkal dan ternyata kabar mengenai wafatnya orang yang kamu cintai itu benar, tidak jarang kita menyalahkan diri kita sendiri, keadaan, atau Tuhan. Salah satu ungkapan yang sering keluar dari mulut kita adalah,

"Tuhan, ini gak adil! Kenapa bukan aku saja? Kenapa Kau harus ambil sahabat/suami/istri/anak/Mama/Papaku?!"

Dengan kemarahan tersebut, kita bisa meluapkan perasaan tanpa harus takut dihakimi lingkungan sekitar. Meski begitu, jangan biarkan kemarahan tersebut berlarut-larut karena diri ini juga butuh kehangatan dan penghiburan dari lingkungan sekitar dan kemarahan bak bara api membuat lingkungan tak enak hati.

Baca Juga: Mengapa Seseorang Bisa Suka Dark Joke? Ini Penjelasan Ilmiahnya

3. Bargaining — penawaran

ilustrasi berdoa dan memohon (unsplash.com/Gracious Adebayo)

Di kala kedukaan, tak jarang kita merasakan kesedihan yang amat sangat hingga kita tak sadar "tawar-menawar" dengan takdir. Selain mengharapkan mukjizat (meski tahu terkadang ini tidak mungkin), hal ini dilakukan agar kesedihan yang kita rasakan bisa berkurang. Tak jarang, kita mengatakan hal-hal seperti,

"Tuhan, jika Engkau kembalikan dia, aku janji akan menyayanginya seumur hidup!"

"Jika Engkau sembuhkan penyakit terminalnya, aku janji akan jadi orang baik."

Dan, memang, penawaran umumnya ditujukan kepada Sang Pencipta yang memiliki kendali atas segala hal. Toh, kita hanya manusia biasa dan kita tak bisa mengubah apa pun sehingga bargaining adalah cermin dari ketidakmampuan manusia atas takdir. Dengan tawar-menawar ini, kita merasa setidaknya memiliki kuasa atas satu hal.

Bersama dengan tawaran tersebut, kita juga sering kali kilas balik ke berbagai penyesalan, bagaimana buruknya perlakuan atau segala kesalahan yang kita perbuat pada orang yang kita sayangi. Atau, mungkin kita mengingat kata-kata yang seharusnya tidak kita ucapkan (terutama sebelum musibah terjadi), dan memainkan skenario dalam pikiran,

"Seandainya aku tidak mengatakannya/melakukannya..."

4. Depression — depresi

Ilustrasi depresi (pexels.com/Engin Akyurt)

Saat mencerna kedukaan, tiba saatnya kita kembali menatap kenyataan hidup. Mungkin memang penyakit terminal tak bisa disembuhkan dan yang sudah pergi ke Sang Khalik tak akan kembali lagi. Tawaran yang kita ajukan kepada takdir dan Tuhan? Tak didengar.

Di tahap ini, kita akhirnya merasakan betul kehilangan dan duka tersebut. Seiring rasa panik surut dan kabut emosi mulai menyingkir, rasa kehilangan dan kesedihan jadi lebih hadir dan terasa tak terelakkan. Mungkin, kita kerap mengatakan hal-hal berikut,

"Penyakit ini sudah tak bisa disembuhkan. Mau gimana lagi?"

"Aku masih merindukannya."

Kita mungkin menarik diri dari kehidupan sosial dan jadi lebih bungkam akan apa yang kta rasakan dan hadapi. Dan, memang wajar kalau menghadapi kehilangan orang tercinta bisa membuat seseorang begitu mengisolasi dirinya karena kuatnya cinta atau rasa sayang yang kita miliki terhadap mendiang. Mengutip kata Vision,

"What is grief if not love persevering?"

5. Acceptance — penerimaan

ilustrasi laki-laki memandang langit dari gunung (pixabay.com/StockSnap)

Lalu, kita sampai di tahap di mana kita tak lagi merasakan pahitnya kehilangan. Di sisi lain, kita tak lagi menolak kenyataan duka dan kita tak lagi tawar-menawar untuk menghilangkannya.

"Semua akan baik-baik saja."

"Dia sudah bahagia di sana."

Bukan masa bodoh, seseorang sudah menerima kenyataan duka dan sudah memeluk kenyataan tersebut sebagai hal permanen yang baru dalam hidupnya. Memang, kesedihan dan amarah masih sedikit tersisa, tetapi kita sudah bisa menerimanya dengan lapang dada dan terus hidup dengan kenangan indah yang ada.

Apakah emosi ini terjadi berurutan?

Ilustrasi wanita merasa sedih. (Pexels.com/tree lee)

Sering diadaptasi ke seri atau film, five stage of grief sebenarnya tidak terjadi secara berurutan. Mungkin kamu sering dengar kalau seseorang berada di tahap denial dan sedang menuju anger. Padahal, modelnya tidak seperti itu.

Dalam bukunya, Kübler-Ross menjelaskan bahwa tahap-tahap emosi dalam kedukaan ini dilihat secara non-linear. Jadi, emosi-emosi tersebut tidak selalu berurutan dan bisa terjadi di waktu-waktu yang berbeda tergantung kondisi dan kedukaannya.

Bisa saja kamu pertama sudah acceptance, tetapi tiba-tiba depression. Atau, bahkan tidak jarang hanya beberapa tahap saja yang dialami. Berbeda kedukaannya, berbeda juga tahap-tahap yang dialami seseorang. Jadi, jangan dipukulratakan!

Baca Juga: 23 Bias Kognitif yang Pengaruhi Proses Pengambilan Keputusaan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya