TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Big Bang, Teori Awal Terciptanya Alam Semesta

Semua berawal dari Dentuman Besar!

pixabay

"Kapan alam semesta lahir?"

"Apa yang terjadi saat kelahiran alam semesta?"

Pertanyaan-pertanyaan ini kerap menjadi perbincangan para ilmuwan dan astronom. Dan, kalau sudah berbicara mengenai topik ini, pasti tidak jauh dari "Dentuman Besar" atau Big Bang.

Menurut teori Big Bang, alam semesta berawal sebuah titik yang sangat panas, lalu mengembang dan mendingin hingga saat ini. Teori mengenai pembentukan alam semesta inilah yang terdepan dalam menjelaskan kejadian alam semesta yang besar dan ajaib!

Namun, karena manusia belum dapat menemukan alat yang cukup mutakhir untuk menelusuri Big Bang, maka segala hal tentang teori ini didasari kalkulasi dan observasi. Menurut perhitungan dari Institut Max Planck pada 2015, ternyata Big Bang bisa ditelusuri hingga 13,82 miliar tahun yang lalu. Bisa dibilang, itulah usia alam semesta kita sekarang!

1. Pemikiran Big Bang sudah ada sejak zaman dahulu

Ilustrasi: Big Bang. livescience.com

Sejarah Big Bang bisa ditelusuri hingga abad ke-13. Pada 1225, teolog Inggris, Robert Grosseteste, merilis risalah bertajuk "De Luce". Grosseteste mengungkapkan kalau alam semesta berawal dari sebuah "ledakan besar" dan kristalisasi materinya membentuk bintang dan planet.

Bahkan, Big Bang sempat muncul dalam bentuk puisi. Pada 1791, Erasmus Darwin (kakek dari Charles Darwin) mengungkapkan teori mengenai Big Bang melalui puisi. Hampir 60 tahun kemudian, penyair legendaris Amerika, Edgar Allan Poe, mengutarakan hal yang sama namun lebih detail lewat prosanya, Eureka.

Menurut Poe, Big Bang dimulai dari "Partikel Purba Tunggal", yang dipecahkan menjadi atom oleh "Kehendak Ilahi". Atom-atom tersebut menyebar ke seluruh ruang semesta sebelum akhirnya tertarik lagi, membentuk bintang dan sistem bintang. Materi alam semesta lalu ditarik oleh gravitasi, menuju tahap "Partikel Purba", dan siklus pun terulang.

2. Awal abad ke-20, saat teori Big Bang berkembang pesat, dari Slipher hingga Friedmann

luasanya alam semesta (space.com)

Bermula pada 1912, astronom Amerika, Vesto Slipher, mengamati efek Doppler pada nebula spiral (nama untuk "galaksi spiral" saat itu). Slipher menemukan bahwa hampir semua nebula menjauh dari Bumi. Saat itu, para astronom, termasuk Slipher, tidak sadar bahwa "nebula" tersebut ada di luar Bimasakti!

Tiga tahun kemudian, ilmuwan terkemuka Jerman, Albert Einstein mengeluarkan teori relativitas umum yang menjadi salah satu landasan teori Big Bang. Merasa teorinya salah, Einstein menambahkan konstanta kosmologis pada 1917. Oleh karena itu, model alam semesta menurut Einstein adalah statis, atau tidak berubah.

Pada 1922, ilmuwan dan astronom Rusia, Alexander Friedmann, menjadi yang pertama menggunakan teori relativitas Einstein tanpa konstanta kosmologis, menghasilkan "Persamaan Friedmann". Bertentangan dengan teori alam semesta statis Einstein, Friedmann mengungkapkan bahwa alam semesta terus mengembang.

Baca Juga: Percayakah? 7 Mitos dan Teori Kontroversial tentang Bulan

3. Hukum Hubble dan Lemaitre, fondasi utama teori Big Bang

ilustrasi ekspansi alam semesta setelah Big Bang (wikimedia.org)

Dua tahun setelah Friedmann mengemukakan teorinya, astronom Amerika, Edwin Hubble, menemukan bahwa "nebula spiral" ternyata adalah galaksi. Mengacu pada persamaan Friedmann, pada 1927, pendeta Katolik dan astronom Belgia, Georges Lemaître, mengatakan bahwa resesi nebula disebabkan oleh ekspansi alam semesta.

Betul saja, pada 1929, Hubble mengeluarkan "Hukum Hubble" yang menyatakan bahwa jarak sama dengan kecepatan resesi galaksi lewat pergeseran merah (redshift). Jadi, semakin besar jarak galaksi dari Bumi, semakin cepat galaksi menjauh. Dengan kata lain, sebelum menjauh, seluruh materi seharusnya bersatu dalam sebuah singularitas.

Hal inilah yang kemudian diungkapkan oleh Lemaître pada 1931 lewat "hipotese de l'atome primitif" atau Hipotesis Atom Purba. Lemaître mengatakan bahwa semakin kita kembali ke masa lalu, maka ukuran alam semesta semakin mengecil hingga di satu waktu alam semesta adalah satu titik, sebuah "atom purba".

4. Model Lemaître vs. Model Hoyle

Fred Hoyle (kiri) berbincang dengan Georges Lemaître (kanan) pada 1950an. researchgate.net

Setelah berakhirnya Perang Dunia II (PD2), Hukum Hubble pun menghasilkan dua model mengenai awal alam semesta, yaitu:

  • Model Lemaître: ilmuwan Rusia-Amerika George Gamow. Disebut "nukleosintesis dentuman besar" (Big Bang Nucleosynthesis, BBN), model Lemaître dikatakan sebagai cikal bakal radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis (Cosmic Microwave Background radiation, CMB).

  • Model Hoyle: oleh ilmuwan dan astronom asal Inggris, Fred Hoyle. Hoyle juga mencetuskan teori "Keadaan Tetap" atau Steady State, di mana materi baru di alam semesta terus terbentuk seiring ekspansi alam semesta. Dengan kata lain, alam semesta tetap sama.

Pada gelar wicara bersama radio BBC pada 1949, Hoyle adalah yang pertama mencetuskan istilah "Big Bang" untuk teori Lemaître. Konon dimaksud sebagai sindiran, istilah Big Bang kemudian populer untuk menjelaskan model Lemaître. Untuk sementara, para ilmuwan terbagi pada dua model tersebut.

Pada 1964, model Lemaître keluar sebagai pemenangnya. Dengan ditemukannya CMB, model Lemaître atau Big Bang semakin dikokohkan sebagai teori terbaik dalam menjelaskan kelahiran alam semesta.

5. CMB, bukti terkuat dari kejadian Big Bang yang ditemukan tak sengaja

Receiver di Bell Labs yang digunakan Arno Penzias dan Robert Wilson untuk menangkap CMB pertama pada 1964. commons.wikimedia.org

Radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis atau CMB adalah radiasi elektromagnetik tertua yang memenuhi seluruh ruang angkasa dan dianggap sisa dari Big Bang.

Dideteksi dengan teleskop radio yang sensitif, CMB berupa noise atau cahaya yang redup, tidak berasal dari bintang, galaksi, atau benda langit lainnya, dan terdeteksi paling kuat di ranah gelombang mikro spektrum radio.

Semua bermula pada 1948. Saat itu, duo ilmuwan Amerika, Ralph Alpher dan Robert Herman, mengatakan bahwa suhu alam semesta adalah 5 derajat Kelvin (-268.15 derajat Celsius). Salah perhitungan, Alpher dan Herman kemudian mengatakan kalau suhunya berubah menjadi 28 derajat Kelvin (-245 derajat Celsius) pada 1949.

Sekitar 15 tahun kemudian, astronom Amerika dari Bell Telephone Laboratories, Arno Penzias dan Robert Wilson, tengah membangun receiver untuk komunikasi satelit dan radio astronomi. Receiver tersebut kemudian mendeteksi noise yang 100 kali lebih tinggi dari prakiraan.

Hasil CMB tangkapan WMAP selama 7 tahun dengan suhu rata-rata 2,7 Kelvin (-270 Celsius). commons.wikimedia.org

Pertama kali, mereka mengira hal tersebut dikarenakan sarang dan kotoran burung merpati yang menghalangi receiver. Namun, setelah dibersihkan, ternyata noise-nya tetap dan terlihat menyebar di langit. Bukan dari Bumi, Matahari atau bahkan Bimasakti, Penzias dan Wilson mengatakan kalau temuan ini dari luar galaksi!

Saat itu ahli astrofisika dari Princeton University, Robert H. Dicke, Jim Peebles, dan David Wilkinson pun tengah mencari radiasi gelombang mikro. Mereka berhipotesis kalau Big Bang menyebabkan ledakan radiasi. Dengan alat yang tepat, Dicke, Peebles, dan Wilkinson yakin bahwa radiasi ini, dalam bentuk gelombang mikro, masih dapat dideteksi.

Mendengar kabar tersebut, Penzias dan Wilson yakin terhadap penemuan mereka karena sesuai dengan kriteria. Dicke, Peebles, dan Wilkinson menemui Penzias dan Wilson, dan setelah melihat penemuan mereka berdua, para ahli astrofisika Princeton yakin bahwa inilah bukti radiasi dari Big Bang.

Penzias dan Wilson kemudian mengungkapkan bahwa suhu alam semesta ada di kisaran 3 derajat Kelvin (-270 derajat Celsius). Atas penemuannya, Penzias dan Wilson dianugerahi Penghargaan Nobel di Bidang Fisika pada 1978.

6. CMB dalam menentukan umur dan komposisi alam semesta

CMB menurut tangkapan wahana antariksa COBE (1989), WMAP (2001), dan Planck (2009). commons.wikimedia.org

CMB telah diamati dalam banyak misi luar angkasa dunia. Salah satu misi penjelajahan luar angkasa paling terkenal adalah wahana antariksa NASA, Cosmic Background Explorer (COBE), yang memetakan langit pada 1989-1993.

Selain COBE, Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) NASA pada 2003-2010, dan satelit Planck dari Badan Antariksa Eropa (ESA) juga ikut mencari CMB.

Diluncurkan pada 2009 hingga 2013, wahana antariksa Planck kemudian memetakan bagian alam semesta yang belum terjangkau sebelumnya. Selain pemetaan tersebut, Planck menyatakan kalau usia alam semesta adalah 13,82 miliar tahun!

Pemetaan alam semesta lewat CMB juga memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai komposisi alam semesta. Para ilmuwan dikejutkan bahwa alam semesta "dikuasai" oleh materi dan energi yang tidak terdeteksi, sehingga disebut materi dan energi "gelap". Hanya 5 persen alam semesta (planet, bintang, dan galaksi) yang terdiri dari materi biasa.

Baca Juga: Masih Misterius, 8 Teori Unik Pembangunan Candi Borobudur

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya