TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Walt Whitman, Penyair Terbesar Amerika di Abad ke-19 

Selain penyair, ia juga seorang jurnalis yang kontroversial

potret Walt Whitman (commons.wikimedia.org/The U.S. National Archives)

Walt Whitman adalah salah satu penyair terbesar Amerika yang sosoknya jarang sekali dibicarakan. Padahal, Walt Whitman menciptakan bentuk puisi "modern" di abad ke-19. 

Walt Whitman juga menjadi salah satu tokoh paling mengejutkan dan rumit, sifat aslinya bahkan masih diperdebatkan oleh para akademisi hingga hari ini.

Lalu, bagaimana seorang anak kelas pekerja yang terpaksa putus sekolah di usia 11 tahun untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, bisa dianggap sebagai penyair terbaik Amerika sepanjang masa? Mari kita telusuri kehidupannya!

1. Walt Whitman menjadi jurnalis yang memiliki kritik pedas

lukisan dari potret Walt Whitman, 1819-1892 (commons.wikimedia.org/Hollyer, Samuel)

Walt Whitman terpaksa putus sekolah setelah kematian ayahnya di usianya ke-12 tahun, dia kemudian bekerja sebagai karyawan surat kabar Long Island Patriot. Pekerjaan tersebut membawa karier Whitman sebagai jurnalis, tulisannya diterbitkan secara luas pada usia 16 tahun.

Walt Whitman terkenal sebagai penyair yang murah hati dan inklusif, serta cinta kemanusiaan. Akan tetapi, penyair besar itu juga memiliki sisi kritis, yang ia lukis dalam banyak artikel, editorial, dan esai. Whitman suka mengkritik penulis lain, mendiskreditkan karya mereka atau menyoroti tulisan mereka, seperti yang tertulis di "The Great Bamboozle! — A Plot Discovered!".

Literary Hub melaporkan bahwa Whitman menerbitkan tulisan anonim untuk memuji karya puitisnya sendiri, sebuah tindakan yang bertentangan dengan standar jurnalisme modern.

Namun, Whitman tidak pernah menganggap dirinya sebagai jurnalis. Meskipun demikian, bahkan setelah ia menjadi penyair yang matang, Whitman terus menerbitkan banyak artikel dan esai sampai kematiannya pada tahun 1892.

2. Perjuangan Walt Whitman agar diakui

Walt Whitman di usia 36 tahun (commons.wikimedia.org/Dodd, Mead and Co, NY)

Puisi "Leaves of Grass," mahakarya Whitman, terkenal karena kejeniusannya. Dikutip laman Biography, Whitman mencetak "Leaves of Grass" dengan uangnya sendiri, dan menerima beberapa pujian, salah satunya dari Ralph Waldo Emerson. Namun, puisinya ini tidak laku secara komersial. Gaya syairnya juga dianggap terlalu bebas dan frontal oleh pembaca serta kritikus kontemporer.

Di usia 39 tahun, Whitman kembali tinggal bersama ibunya, menganggur dan hampir tidak punya uang, meskipun kariernya cukup lama sebagai wartawan surat kabar dan "Leaves of Grass"-nya telah diterbitkan dua kali.

Butuh beberapa tahun baginya untuk meraih kesuksesan sebagai penyair. Setelah "Leaves of Grass" ditulis beberapa edisi, Whitman menyempurnakannya dengan lebih banyak materi, puisinya pun dianggap serius oleh khalayak luas, dan dia dapat menikmati imbalannya secara finansial.

3. Seksualitas Walt Whitman 

Walt Whitman dan Peter Doyle, sekitar tahun 1869 (commons.wikimedia.org/M. P. Rice)

"Leaves of Grass" mulai tenar setelah edisi ketiganya rilis pada tahun 1860, dengan adanya dua bagian baru. Pertama, "Children of Adam," terkenal karena nada erotis heteroseksualnya, lalu "Calamus," yang secara terbuka menggambarkan hubungan sensual antara sesama laki-laki sebagai homoerotik.

Ini menjadi karya terobosan, walaupun tidak semua orang di abad ke-19 menerima karya Whitman. Edisi "Leaves of Grass" sebelumnya justru menarik kemarahan para kritikus kontemporer dengan mencerca bahwa puisi Whitman adalah "kumpulan kotoran bodoh" dan "sampah busuk yang tidak bermoral", tulis Boston Review.

4. Pandangan Walt Whitman yang menimbulkan kontroversi 

potret Walt Whitman (commons.wikimedia.org/The U.S. National Archives)

Sensualitas puitis Whitman diasumsikan oleh pembaca sebagai sindiran untuk salah satu praktik paling menjijikkan abad ke-19, yaitu perbudakan. Seperti yang diklaim oleh The Conversation, Whitman memang menyuarakan ketidaksukaannya terhadap perbudakan.

Bahkan, ia sampai kehilangan pekerjaannya sebagai jurnalis di Brooklyn Eagle karena keyakinannya itu. Namun setelah itu, ia mendirikan Brooklyn Freeman, sebuah surat kabar yang mendukung gerakan "Free Soil" (anti perbudakan).

Terlepas dari pandangannya tentang kebebasan individu dan tulisannya tentang penderitaan budak, sayangnya Whitman tidak terlalu visioner untuk menolak rasisme. Komentar rasisnya sering kali mengejutkan dan mengecewakan pembaca.

Baca Juga: Sastrawan dan Akademisi Berdedikasi, Prof Budi Darma Tutup Usia

Verified Writer

Amelia Solekha

Write to communicate. https://linktr.ee/ameliasolekha

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya