TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Fakta Louise Gluck, Penyair Perempuan Peraih Nobel Sastra 2020

Penyair perempuan pertama peraih Nobel Sastra di era 2000-an

www.japantimes.co.jp

Penghargaan Nobel Sastra tahun ini begitu istimewa. Bukan hanya karena pengumumannya yang disampaikan di tengah pandemi COVID-19, melainkan juga peraihnya yang merupakan penulis puisi. Sebab terakhir kali Dewan Akademi Swedia menobatkan sosok penyair sebagai peraih Nobel Sastra adalah pada 2011. Kala itu, pemenang penghargaan berhadiah uang senilai 10 juta krona atau Rp16,6 miliar itu adalah penyair asal Swedia, Tomas Transtromer.

Lantas, siapa penyair yang memperoleh penghargaan Nobel Sastra untuk tahun ini? Dialah Louise Gluck, seorang guru besar Bahasa Inggris di Yale University yang juga penulis belasan buku kumpulan puisi dan esai. Karya puisi perempuan berkebangsaan Amerika Serikat itu dinilai kalangan seniman, banyak mengeksplorasi pengalaman hidup dan berhasil menempatkan eksistensi individu ke ranah yang universal.

Untuk mengenalnya lebih jauh, berikut ini beberapa fakta lain yang menarik dari Louise Gluck, penyair perempuan peraih Nobel Sastra 2020.

1. Penyair perempuan pertama yang meraih Nobel Sastra di era 2000-an

Twitter.com/NobelPrize

Meski banyak penulis fiksi peraih Nobel Sastra yang juga menulis puisi, namun kebanyakan dari mereka dikenal karena karya novel atau cerita pendeknya. Adapun Louise Gluck merupakan penulis yang hanya menerbitkan karya puisi dan esai yang juga masih berkaitan dengan perpuisian.

Gluck merupakan penyair perempuan pertama di era 2000-an yang memenangkan penghargaan bergengsi itu. Adapun terakhir kali penyair perempuan yang meraih Nobel Sastra adalah pada 1996. Kala itu, peraihnya adalah penyair berkebangsaan Polandia, Wislawa Szymborska.

2. Puisinya kebanyakan mengangkat tema yang berkaitan dengan pengalaman hidup yang traumatis

Twitter.com/NobelPrize

Sejumlah kritikus sastra menilai karya Louise Gluck banyak mengeksplorasi tema yang berkaitan dengan trauma dan rasa kehilangan beserta harapan yang menyertainya. Bahkan tema yang pedih itu seringkali disampaikan dengan bahasa yang apa adanya tanpa diksi yang berlebihan.

Dengan pilihan tema itu, Gluck dianggap berhasil mengangkat persoalan hidup harian menjadi pengalaman yang universal. Ia menjadikan persoalan hidup itu sebagai representasi dari kepedihan atau kesendirian yang kerap dirasakan banyak orang sekaligus tidak lupa untuk menyertakan harapan yang mungkin bisa menjadi jalan keluar atas permasalahan hidup tersebut.

Baca Juga: 5 Penelitian Memukau Pemenang Nobel 2019, Sumbangsih buat Dunia!

3. Banyak karya puisinya yang memanfaatkan mitos

Instagram.com/noencuentrolibros

Untuk menopang tema kepedihan dan kesendirian pada puisinya, Louise Gluck banyak memanfaatkan cerita dewa atau mitos. Misalnya suara tokoh mitologi seperti Dido, Persephone dan Eurydice yang merupakan representasi dari mereka yang diabaikan, dihukum, dan dikhianati.

Puisi tersebut bisa ditemukan dalam salah satu maha karyanya yang terbit pada 2006 berjudul Averno. Buku ini memuat kumpulan puisi yang merupakan interpretasi Gluck atas mitos Persephone yang harus menjalani hukuman di neraka atau penjara milik Hades, sang dewa kematian. Adapun judul bukunya, Averno, diambil dari nama danau di sebelah barat Napoli yang dianggap orang Romawi Kuno sebagai pintu gerbang menuju neraka.

4. Louise Gluck meraih banyak penghargaan bergengsi di bidang sastra

Twitter.com/NobelPrize

Sebelum meraih Nobel Sastra, nama Louise Gluck sudah dikenal di kalangan sastrawan dan seniman sebagai akademisi yang sering beroleh penghargaan bergengsi. Setidaknya, ia sudah menerima puluhan penghargaan yang kebanyakan berasal dari negara asalnya, Amerika Serikat.

Dua karyanya yang beroleh penghargaan bergengsi adalah The Wild Iris (1992) dan Faithful and Virtuous Night (2014). Karya pertama meraih penghargaan Pulitzer pada 1993 dan karya kedua mendapatkan penghargaan National Book Award pada 2014.

5. Karya debut Louise Gluck terbit pada 1968 atau saat usianya 25 tahun

Instagram.com/internopoesia

Buku kumpulan puisi berjudul Firstborn merupakan karya perdana Louise Gluck di jagat perpuisian. Sejak saat itu, namanya mulai diperbincangkan banyak sastrawan dan seniman di Amerika Serikat. Salah satu topik yang menjadi bahan perbincangan adalah pilihan temanya yang kelam.

Dalam Firstborn, misalnya, Gluck menggunakan kata ganti orang pertama yang menyuarakan kemarahan. Meski begitu, ia tetap memerhatikan aspek keindahan puisi setidaknya pada aspek rima dan pola metris.

Baca Juga: 5 Wanita Peraih Nobel di Abad Ini Menginspirasi Lewat Tulisan

Verified Writer

Asep Wijaya

Penikmat buku, film, perjalanan, dan olahraga yang sedang bermukim di Fujisawa, Kanagawa, Jepang

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya