TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Fakta Perbudakan di Nusantara Abad 16-17 yang Tak Banyak Diketahui

Dulu memiliki budak lebih baik daripada mempunyai tanah

ilustrasi pasar budak di Aceh, Sumatera (upload.wikimedia.org/wikipedia/Smeeton Trilly)

Intinya Sih...

  • cAda lima sebab seseorang menjadi budak, termasuk utang, penjualan diri, tawanan perang, dan hukuman pengadilan.
  • Budak dipekerjakan untuk tuannya atau disewakan kepada pihak lain, serta diperdagangkan baik ke dalam maupun luar negeri.

Dahulu budak merupakan aset penting yang mempunyai nilai jual cukup tinggi termasuk sampai masa pemerintahan kerajaan Islam Nusantara, seperti Aceh dan Malaka. Hampir semua elit penguasa kerajaan maupun pedagang kaya mempunyai budak. Hal itu masih terjadi sekitar abad ke 16 dan sudah menjadi “tradisi”. 

Lalu bagaimana fakta perbudakan yang pernah ada di Nusantara? Yuk, simak penjelasannya berikut.

1. Asal muasal berstatus menjadi budak

ilustrasi perbudakan (pixabay.com/PublicDomainPictures)

Ada banyak sebab yang menjadikan seseorang itu menjadi budak. Menurut Anthony Ried dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, umumnya hal disebabkan karena lima hal. Paling utama karena utang, entah itu utang dagang, mas kawin, bahkan judi. Pertama, seseorang bisa berstatus budak karena keturunan alias mewarisi status orang tuanya. Apabila seseorang tersebut tidak bisa memerdekakan dirinya sendiri ataupun tidak ada yang memerdekakan, tentu saja statusnya tetaplah budak meski baru berusia dini. 

Kedua, status budak disebabkan karena memang dijual oleh orang tua, suami, bahkan diri sendiri. Sebagaimana di Aceh, menurut catatan Montesqieu banyak orang yang menjual dirinya sendiri. Mereka terpaksa menjual diri agar memperoleh sejumlah uang memenuhi kebutuhan diri sendiri, membayar utang dan lain sebagainya. 

Ketiga, karena menjadi tawanan perang. Waktu itu hegemoni masing-masing kerajaan yang ada di Nusantara salah satunya ditentukan oleh banyaknya wilayah kekuasaan. Hal itu bisa diperoleh melalui peperangan ataupun invasi. Jika rakyat suatu kerajaan ataupun prajurit, mengalami kekalahan seringkali menjadi tawanan pemenang dan berakhir menjadi budak. 

Terakhir, karena hukuman pengadilan. Pihak pengadilan bisa menghukum orang yang bersalah dengan memebeninya sejumlah denda. Apabila tidak bisa membayar denda, ia harus membayarnya dengan menjadi budak belian. Tentunya ia harus menjual diri ataupun dijual. 

2. Budak dianggap lebih berharga daripada tanah

ilustrasi pasar budak di Aceh, Sumatera (upload.wikimedia.org/wikipedia/Smeeton Trilly)

Menurut Scout, sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid bahwa kekayaan terpenting kaum elit Banten adalah budak. Bahkan ada yang mengatakan bahwa daripada memiliki tanah yang luas, lebih baik mempunyai budak. Mereka bisa melakukan aktivitas ekonomi dan menghasilkan banyak harta kekayaan serta berkat kerja keras budak.

Tak hanya dipekerjakan untuk tuannya sendiri maupun dijual langsung, budak juga biasa disewakan kepada mereka yang membutuhkan. Misalnya, waktu itu sudah banyak pedagang Portugis yang sering menyewa tenaga budak untuk melakukan banyak pekerjaan, khususnya bongkar muat dagangan.
Mereka menukar tenaga kerjanya dengan sejumlah uang maupun bahan pokok seperti beras yang jumlahnya sangat tinggi. Tentu saja itu kemudian diserahkan kepada tuannya.

3. Ekspor impor budak adalah hal yang biasa

ilustrasi pasar budak awal abad ke 17 (commons.m.wikimedia.org/Jacques Callot)

Layaknya barang, sistem perbudakan juga erat kaitannya dengan diperdagangkan baik ke dalam maupun luar negeri. Seperti halnya wilayah Kerajaan Aceh banyak mengimpor budak dari India Selatan, Arakan, Nias, Sunda Kecil, dan Banten.

Sedangkan Jawa pada tahun 1500-an pernah menjadi pengekspor budak terbesar yang didistribusikan ke berbagai negera kerajaan di seluruh nusantara, termasuk Aceh. Kemudian sekitar tahun 1600-1700-an Sulawesi Selatan juga ikut ambil bagian sebagai pengeskpor budak. Hal itu didorong adanya konflik dan peperangan dalam diri suatu negera atau kerajaan.

Seperti halnya di Jawa, sekitar tahun tersebut menjadi puncak terjadinya peralihan kekuasaan hingga penaklukan oleh kerajaan lain yakni Majapahit dengan Demak. Disinyalir bahwa korban konflik dan peperangan itulah kemudian membuat mereka memilih pergi ke luar negeri meskipun akhirnya menjadi budak. Ada pula yang memang sengaja dikirim lalu dijual.

Baca Juga: 5 Film yang Senggol Isu Perbudakan Modern, Masih Ada!

4. Konsep perbudakan dan status budak yang tak jelas

ilustrasi rantai perbudakan (pixabay.com/StarGladeVintage)

Ada suatu kasus yang cukup membingungkan pada masa kerajaan Malaka. Kala itu seorang raja mempekerjakan beberapa orang yang dianggapnya sebagai budak. Namun, pada suatu masa mereka dibebaskan selama beberapa supaya tetap melakukan pekerjaan pribadinya.

Menurut Dampier dalam bukunya Denys Lombard berjudul “Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636” bahwa raja Aceh mempunyai ribuan budak. Mereka terbagi menjadi beberapa golongan lagi berdasarkan pekerjaannya. Dalam sebuah peebudakan itu sendiri terdapat sistem stratifikasi pula. Diantara budak tersebut bahkan ada yang membawahi budak lain atau bisa dikatakan sebagai pengawas budak. Begitulah mereka sebenarnya saling memperbudak.

5. Pekerjaan budak yang beraneka ragam

ilustrasi penduduk jawa, para bangsawan yang dipayungi oleh beberapa budaknya pada abad ke 16 (commons.m.wikimedia.org/Nicholas Vallard)

Pekerjaan sebagai budak itulah sangat kompleks dan beragam, sehingga kebanyakan mereka tidak peduli siang ataupun malam hanya untuk bekerja dan bekerja meskipun itu bukan untuk dirinya sendiri. Pekerjaan sahaya raja berbeda dengan suadagar ataupun orang kaya lainnya. Budak pedagang biasa mengangkut barang-barang dagangan, bercocok tanam, dan sebagainya.

Budak raja biasanya memelihara binatang ternak, membangun istana, menebang pohon di hutan, dan hingga menambang logam. Bahkan ada pula yang menjadi pengawal hingga dokter pribadi Sultan Aceh, Iskandar Muda karena memang memiliki kemampuan khusus di bidang itu.

Verified Writer

Khus nul

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya