Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi sampah di negara maju
ilustrasi sampah di negara maju (pexels.com/Tom Fisk)

Kalau selama ini kita berpikir bahwa negara maju selalu bebas dari masalah sampah, siap-siap tercengang. Faktanya, negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, hingga Jerman pun masih bergelut dengan tumpukan limbah setiap harinya. Meski dikenal dengan sistem pengelolaan sampah super canggih dan disiplin, bukan berarti semuanya berjalan dengan mulus. Justru, beberapa negara kaya diam-diam masih mengandalkan praktik ekspor sampah ke negara berkembang untuk mengurangi beban limbah domestik mereka.

Dibalik citra bersih dan tertib, ada sisi lain yang jarang terekspos ke publik. Banyak negara maju menghadapi tantangan baru dalam mengelola limbah modern, mulai dari plastik sekali pakai hingga limbah elektronik yang sulit diurai. Ironisnya, sebagian besar sampah itu justru dihasilkan dari gaya hidup konsumtif masyarakatnya.  Apa saja fakta sampah negara maju yang mengejutkan tersebut? Beserta perbandingan sistem pengelolaannya yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi negara Indonesia.

1. Negara maju juga menghasilkan jutaan ton sampah setiap tahun

ilustrasi sampah (pexels.com/Fernando Makers)

Banyak yang berpikir bahwa negara-negara maju serba bersih dan tertib dalam hal sampah. Padahal kenyataannya volume sampah negara maju juga sangat besar. Dilansir laman development aid, negara-negara maju menghasilkan sampah per kapita yang sangat tinggi, yakni mencapai 800 kg lebih per orang per tahun. Meskipun dalam hal tata kelola daur ulang dan pemrosesan sampah canggih lebih maju, tetap saja volume sampah yang dihasilkan masih berakhir di TPA atau tempat pembuangan akhir. Adapun faktor utama tingginya volume sampah per kapita adalah gaya hidup atau konsumsi yang tinggi, urbanisasi, kemasan sekali pakai, hal ini menjadi tantangan besar dalam pengelolaan.

Diperkirakan di masa depan apabila tidak dikelola dengan bijak, volume sampah akan terus meningkat signifikan hingga tahun 2050, dengan biaya yang semakin membengkak. Tantangan dan masalah akan terus ada, meski sistemnya bagus, masih banyak sampah yang akan berakhir di landfill. Dorongan untuk mulai sadar bahwa volume sampah bukan hanya soal “negara maju” tapi bisa terjadi di mana saja.

2. Tantangan e-waste atau limbah elektronik di negara maju

ilustrasi sampah (pexels.com/Tom Fisk)

Kemajuan industri dan teknologi tinggi menghasilkan sebagian besar limbah elektronik global. Dilansir laman Ewaste Collection and Recycling Association, konsumsi tinggi dan pembaharuan terus-menerus pendorong utama kenaikan e-waste. Misalnya, perangkat elektronik semakin cepat usang, sehingga volume pembuangan semakin meningkat.

Meskipun negara maju memiliki infrastruktur pengelolaan yang baik dibandingkan negara berkembang, tantangan terhadap perangkat modern semakin mengecil dan mengandung bahan berbahaya seperti timbal dan merkuri dan konsentrasi yang tinggi, sehingga pengolahan menjadi lebih kompleks dan berbiaya tinggi. Selain itu, regulasi dan sistem daur ulang yang efektif di beberapa negara maju belum sepenuhnya mampu mengimbangi laju pembuangan e-waste, sehingga tumpukan e-waste masih terus tumbuh.

Masalah ekspor elektronik dari negara maju ke negara berkembang yang menimbulkan tantangan etis dan lingkungan. Negara maju sering menyerahkan beban limbahnya ke luar negeri yang infrastrukturnya belum siap, sehingga e-waste akhirnya dibuang atau dibakar secara tidak aman. Hal ini juga memperjelas bahwa tanggung jawab pengelolaan e-waste tidak hanya berada di sisi produksi atau konsumsi, tetapi juga memerlukan kebijakan global, kolaborasi internasional, dan desain produk yang lebih tahan lama.

3. Korea Selatan menerapkan kebijakan bayar sesuai jumlah sampah

ilustrasi sampah (pexels.com/Tom Fisk)

Korea Selatan menjadi salah satu negara maju dan terdepan di kawasan Asia Timur. Negara ini sudah lama menegakkan kebijakan ketat terhadap pengelolaan sampah. Ada beberapa sistem pengelolaan sampah Korea seperti sistem pembuangan sampah berbasis volume, sistem deposit botol soju, dan larangan pembuangan langsung sampah makanan ke tempat pembuangan akhir (TPA). Dari ketiga sistem tersebut, sistem berbasis volume menjadi paling mengubah budaya pengelolaan sampah di Korea, dan secara luas dianggap sebagai salah satu inisiatif lingkungan paling sukses di negara itu. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup Korea, dilansir laman  Korea JoongAng Daily, kebijakan ini sukses mengurangi 160 juta ton sampah rumah tangga dan memanfaatkan kembali sekitar 200 juta ton barang bekas sejak diterapkan.

Keberhasilan Korea Selatan menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang berkelanjutan memerlukan kombinasi antara kebijakan yang tegas, edukasi publik, dan sistem insentif yang jelas. Meski pada awalnya dianggap tidak populer, membuang sampah lebih banyak harus membayar lebih berhasil mengubah perilaku masyarakat secara signifikan. Negara lain termasuk Indonesia, dapat menjadikan ini sebagai inspirasi dalam upaya mengurangi timbunan sampah dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya tanggung jawab individu dalam menjaga lingkungan.

Meski dipandang sebagai contoh negara dengan sistem pengelolaan lingkungan yang canggih, kenyataannya beberapa negara maju juga menghadapi tantangan besar dalam urusan sampah. Volume limbah yang terus meningkat, terutama dari sektor elektronik dan konsumsi harian, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tak selalu sejalan dengan kesadaran ekologis. Dari sini, kita bisa belajar bahwa kebersihan dan keberlanjutan bukan hanya soal fasilitas modern, tapi juga tentang perubahan perilaku, tanggung jawab individu, serta komitmen bersama menjaga Bumi agar tetap layak huni untuk generasi mendatang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team