Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gunung
ilustrasi gunung (unsplash.com/Kalen Emsley)

Intinya sih...

  • Penurunan tekanan udara menyebabkan udara di gunung menjadi tipis dan dingin

  • Proses pendinginan adiabatik menjelaskan penurunan suhu saat naik ke ketinggian

  • Pemanasan Bumi dari bawah ke atas dan konsentrasi gas rumah kaca yang rendah juga mempengaruhi suhu dingin di gunung

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah Kamu bertanya-tanya mengapa saat mendaki gunung, alih-alih merasakan kehangatan karena posisi yang lebih dekat ke Matahari, kamu justru harus berjuang melawan dingin yang menusuk? Fenomena ini sering kali membingungkan dan bertentangan dengan logika sederhana kita. Mengingat di puncak gunung, jarak fisik ke pusat tata surya kita memang lebih dekat.

Walaupun jarak Bumi ke Matahari mencapai sekitar 150 juta kilometer, jarak vertikal yang kita tempuh saat mendaki gunung hanyalah beberapa kilometer saja, yang secara teknis tidak signifikan untuk menghasilkan perbedaan suhu panas yang drastis. Namun, sensasi dingin yang kita rasakan di ketinggian adalah fakta yang tak terbantahkan, seringkali memaksa kita mengenakan jaket tebal dan peralatan pendakian yang memadai. Misteri pendinginan ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara fisika atmosfer, tekanan udara, dan cara Bumi memanaskan udaranya. Ingin mengetahui informasi lebih lanjut terkait fenomena ini? Yuk, simak artikelnya di bawah!

1. Terdapat penurunan tekanan udara

ilustrasi penurunan tekanan udara (unsplash.com/Dominik Schröder)

Dilansir laman National Geographic Society, faktor yang paling menentukan mengapa suhu di gunung sangat dingin adalah penurunan tekanan udara seiring bertambahnya ketinggian. Di permukaan laut (dataran rendah), molekul-molekul udara ditarik kuat oleh gravitasi Bumi sehingga sangat padat dan saling berdekatan, menghasilkan tekanan udara yang tinggi.

Sebaliknya, saat kita mendaki hingga ke puncak gunung, jumlah kolom udara yang menekan ke bawah berkurang drastis, sehingga molekul-molekul udara menjadi lebih renggang atau sering disebut sebagai udara yang "tipis". Karena molekul-molekul ini jarang dan terpisah jauh, frekuensi tabrakan antar-molekul yang merupakan sumber utama energi panas di dataran rendah menjadi sangat minim.

Dengan berkurangnya pergesekan dan tabrakan yang menghasilkan energi kinetik, maka hanya ada sedikit energi panas yang dapat disalurkan atau dipertahankan. Akibatnya, suhu udara di ketinggian otomatis menjadi sangat rendah dan terasa menggigit.

2. Proses pendinginan adiabatik

ilustrasi kondisi di puncak gunung (unsplash.com/Rohit Tandon)

Dilansir Encyclopedia.com, penurunan suhu di ketinggian juga secara spesifik dijelaskan oleh sebuah prinsip fisika yang dikenal sebagai proses pendinginan adiabatik. Ketika massa udara dari dataran rendah bergerak naik menuju puncak gunung, udara ini memasuki area dengan tekanan yang semakin rendah.

Karena tekanan luar yang lebih kecil, massa udara tersebut secara alami akan mengembang atau berekspansi, karena tidak ada tekanan kuat yang menahannya. Proses mengembang ini tidak terjadi secara gratis, molekul-molekul udara harus menggunakan sebagian energi internal mereka untuk mendorong dan memberi ruang bagi ekspansi tersebut.

Penggunaan energi internal inilah yang secara langsung menyebabkan penurunan suhu massa udara, bahkan tanpa adanya pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, dalam kondisi kering, udara akan mendinginkan sekitar untuk setiap kenaikan ketinggian 1 kilometer, sebuah laju yang disebut dry adiabatic lapse rate. Proses inilah yang menjadi alasan utama mengapa pendaki dapat merasakan penurunan suhu yang signifikan hanya dalam waktu singkat saat menanjak.

3. Proses pemanasan bumi dari bawah ke atas

ilustrasi dataran bumi (unsplash.com/Wolfgang Hasselmann)

Dilansir laman National Oceanic and Atmospheric Administration, meskipun Matahari adalah sumber energi utama, cara atmosfer Bumi dipanaskan ternyata berasal dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. Sinar Matahari sebagian besar mampu menembus lapisan atmosfer Bumi dan energi tersebut baru diserap dan memanaskan permukaan Bumi (tanah dan lautan) secara langsung.

Setelah permukaan Bumi panas, ia kemudian memancarkan energi panas tersebut kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi inframerah (panas yang kita rasakan). Lapisan atmosfer terbawah, yaitu troposfer, tempat kita hidup dan gunung berada, dipanaskan melalui proses radiasi balik dari permukaan Bumi ini.

Karena puncak gunung terletak jauh dari sumber panas utama (permukaan Bumi), ia menerima energi panas radiasi yang jauh lebih sedikit. Semakin jauh dari permukaan Bumi, maka semakin berkurang pula panas yang diterima dari proses radiasi balik ini dan menghasilkan gradien suhu yang dingin di ketinggian.

4. Konsentrasi gas rumah kaca yang lebih rendah

ilustrasi gas rumah kaca (unsplash.com/Anthony Maw)

Peran gas rumah kaca (GRK) dalam menahan panas juga menjadi faktor krusial mengapa gunung terasa dingin. Gas-gas seperti uap air, karbon dioksida (CO2), dan metana (CH4) bekerja seperti selimut bagi Bumi, menyerap dan memerangkap radiasi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan Bumi. Namun, melansir laman Columbia University, di ketinggian gunung yang lebih tinggi, konsentrasi dan kerapatan dari gas-gas rumah kaca ini jauh lebih rendah.

Molekul air, khususnya, cenderung terkumpul di lapisan atmosfer bawah karena massanya. Dengan lebih sedikit molekul uap air dan CO2 di puncak gunung, atmosfer di sana kehilangan kemampuan optimalnya untuk menyerap dan menahan panas radiasi balik dari Bumi. Oleh karena itu, panas yang sedikit ada di sana akan lebih mudah dilepaskan kembali ke angkasa, membuat suhu di puncak gunung terus merosot dan menciptakan suasana yang jauh lebih dingin dibandingkan dataran rendah yang diselimuti GRK lebih tebal.

5. Pengaruh kelembaban dan curah hujan yang tinggi

ilustrasi gunung (unsplash.com/Marc St)

Kondisi cuaca dan iklim di daerah pegunungan juga sangat berkontribusi pada suhu dingin yang ekstrem, khususnya kelembaban dan tingginya curah hujan. Dilansir laman BBC, daerah pegunungan sering memiliki tingkat curah hujan yang lebih tinggi karena angin memaksa udara lembab naik, mendingin, dan terkondensasi menjadi awan dan hujan.

Kehadiran kabut atau awan rendah yang sering menyelimuti gunung adalah indikasi dari udara yang sangat jenuh dan bersuhu rendah. Kabut dan awan ini bertindak sebagai medium untuk menyalurkan udara dingin dan menciptakan rasa dingin yang menusuk.

Selain itu, kelembaban yang relatif rendah dan udara yang lebih kering pada malam hari di ketinggian, membuat pendinginan radiasi lebih intens. Udara kering melepaskan panasnya lebih cepat ke angkasa, sementara uap air di dataran rendah cenderung membantu menahan panas. Kombinasi faktor-faktor ini secara sinergis memastikan bahwa pegunungan, meskipun secara teknis lebih dekat ke Matahari, akan selalu menjadi tempat yang lebih dingin.

Fenomena suhu dingin di gunung yang bertolak belakang dengan logika kedekatan Matahari mengajarkan kita pelajaran penting tentang kompleksitas fisika atmosfer. Jawabannya tidak terletak pada jarak horizontal ke Matahari, melainkan pada jarak vertikal dari permukaan Bumi sebagai sumber panas utama serta kondisi unik tekanan udara di ketinggian. Tekanan udara yang rendah mengurangi tabrakan molekul penghasil panas, didukung oleh pendinginan adiabatik ketika udara mengembang, dan diperparah oleh konsentrasi gas rumah kaca yang tipis untuk menahan panas. Semua faktor ini saling berinteraksi, menciptakan lingkungan yang secara inheren dingin, menantang, namun memukau.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team