digitalcollections.universiteitleiden.nl
Najan Kaasup ludengan, ari asup ka Gedong setan mah teu wani. Tong boro asup ketang, dalah ngalanto ka buruanana ge geus muringkak bulu punduk
Walaupun termasuk pemberani, jika masuk ke Gedung Setan mah tidak berani. Jangankan untuk masuk, mendatangi halamannya pun bulu kuduk sudah merinding"
Begitulah Us Tiarsa dalam bukunya yang berjudul "Basa Bandung Halimunan" bercerita tentang "Gedung Setan" yang menurutnya merupakan salah bangunan angker di Bandung. Buku berbahasa Sunda yang jika diartikan adalah "Waktu Bandung Berkabut" tersebut merupakan memoar dari sang penulis mengenai Bandung antara tahun 1950 sampai 1960an.
Ternyata "Gedung Setan" yang dimaksud oleh Us Tiarsa adalah Loji Sint Jan yang digunakan sebagai tempat berkumpul anggota Freemason di Bandung. Masih dalam buku yang sama Us Tiarsa menyebutkan bahwa kata "setan" yang melekat dalam sebutan gedung itu karena kesalahan pelafan masyarakat dari "Sint Jan".
Karena keberadaan loji ini jalan yang berada di depan loji ini dinamakan Logeweg atau yang sekarang kita kenal Jalan Wastukencana. Kini sudah tidak ada sisa-sisa lagi dari bangunan loji ini karena saat ini di lahan yang sama telah berdiri Masjid Al Ukhuwah yang megah.
IDN Times/Agithyra Nidiapraja
Bangunan Loji Sint Jan dibangun dan selesai tahun 1901 dan direnovasi besar-besaran pada tahun 1920. Selain difungsikan sebagai tempat anggota Freemason berkumpul dan melakukan kegiatan, tempat ini juga memiliki sebuah perpustakaan umum yang dinamakan De Openbare Bibliothec van Bandoeng.
Setelah kegiatannya sempat terhenti selama masa Pendudukan Jepang, pasca kemerdekaan beberapa anggota freemason yang kebanyakan pribumi berusaha membangkitkan kembali kegiatan-kegiatan mereka. Loji Sint Jan menjadi salah satu dari empat loji yang dihidupkan kembali di Indonesia diubah namanya menjadi Loji Dharma.
Tiga loji lainnya yakni Loji Purwa Daksina di Jakarta, Loji Pamitrian di Surabaya, dan Loji Bhakti di Semarang. Keempatnya loji tersebut kemudian membentuk Loji Timur Agung Indonesia dan mengangkat Soemitro Kolopaking untuk menjadi Suhu Agung di Bandung pada tahun 1955.