Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi situs kuno yang merekam jejak misterius hujan meteor epsilon-perseid
Ilustrasi situs kuno yang merekam jejak misterius hujan meteor epsilon-perseid (commons.wikimedia.org/Dennis G. Jarvis)

Intinya sih...

  • Nabta Playa, situs megalitikum di Mesir Selatan yang berusia lebih dari 6.000 tahun, diyakini sebagai salah satu observatorium bintang tertua di dunia.

  • Relief Zodiac Dendera di Kuil Hathor, Mesir, memuat konstelasi Perseus yang diasosiasikan dengan pahlawan langit dan senjata dewa yang dilempar dari langit.

  • Catatan astronomi Tiongkok kuno mencatat fenomena "hujan bintang" yang penting bagi ramalan politik dan spiritual, menunjukkan bahwa meteor memiliki makna kosmologis bagi masyarakat kuno.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Fenomena langit selalu memikat manusia sejak ribuan tahun lalu. Bintang jatuh, gerhana, hingga cahaya aneh di angkasa kerap dianggap sebagai pesan dari para dewa. Salah satunya adalah hujan meteor, termasuk Epsilon-Perseids yang puncaknya terjadi tiap September.

Meskipun baru dipahami sebagai fenomena astronomis pada abad ke-19, bukan berarti peradaban kuno tidak memperhatikannya. Beberapa situs kuno di dunia ternyata punya hubungan erat dengan konstelasi Perseus, mitologi bintang jatuh, atau catatan “hujan bintang” dalam sejarah. Inilah lima jejak menariknya!

1. Nabta Playa, merupakan kalender batu di gurun Sahara

Ilustrasi Nabta Playa (commons.wikimedia.org/Raymbetz)

Nabta Playa adalah situs megalitikum di Mesir Selatan yang diperkirakan berusia lebih dari 6.000 tahun. Batu-batu raksasa di gurun ini ditata sedemikian rupa untuk menandai terbitnya bintang dan siklus musim. Menurut laman Astronomy, situs ini diyakini sebagai salah satu observatorium bintang tertua di dunia.

Walaupun fokusnya pada Sirius dan rasi Orion, letaknya yang menghadap ke langit utara memungkinkan pengamat kuno juga melihat konstelasi Perseus, asal radiasi meteor Epsilon-Perseids. Cahaya meteor yang jatuh mungkin dianggap bagian dari ritual kosmis.

Bagi masyarakat Nabta, bintang bukan sekadar titik cahaya, melainkan “penunjuk takdir”. Bisa jadi kilatan meteor dilihat sebagai tanda penting bagi musim hujan di Sahara purba.

2. Dendera zodiac, memuat Perseus dalam relief langit

Ilustrasi Dendera Zodiac (flickr.com/Ellas Rovlelo)

Di Kuil Hathor di Dendera, Mesir, terdapat relief terkenal bernama Zodiac Dendera. Relief ini memuat berbagai konstelasi, termasuk rasi-rasi yang masih dikenali hingga kini. Menurut laporan Egypt Museum, konstelasi Perseus juga sudah digambarkan di sana.

Masyarakat Mesir kuno sangat akrab dengan mitos dan simbol. Perseus yang diasosiasikan dengan pahlawan langit tentu punya makna khusus. Saat meteor jatuh dari arah rasi tersebut, bisa saja dianggap sebagai senjata dewa yang dilempar dari langit.

Relief ini membuktikan bahwa konstelasi tempat lahirnya hujan meteor sudah lama menjadi perhatian peradaban kuno. Jadi, meskipun istilah Epsilon-Perseids baru muncul modern, “cahaya Perseus” sebenarnya sudah disakralkan ribuan tahun lalu.

3. Catatan Tiongkok kuno, mendokumentasikan hujan bintang dengan rapi

Ilustrasi bola zodiak dan bola langit kuno yang dimiliki observatorium Tiongkok (commons.wikimedia.org/Creative Commons Attribution 4.0)

Sejarah Tiongkok terkenal kaya dengan kronik astronomi. Catatan astronomi kerajaan mencatat berbagai fenomena langit, termasuk “hujan bintang” yang kemungkinan adalah meteor shower. Menurut NASA, catatan meteor tertua berasal dari tahun 687 SM di Tiongkok.

Meski tidak spesifik menyebut Epsilon-Perseids, ada deskripsi tentang “puluhan bintang jatuh dari utara” pada bulan-bulan yang sesuai. Catatan ini menunjukkan bahwa fenomena meteor bukan hanya terlihat, tapi juga dianggap penting bagi ramalan politik dan spiritual.

Di Tiongkok kuno, bintang jatuh kerap dimaknai sebagai tanda perubahan besar: naik-turunnya dinasti, perang, atau bencana. Jadi, bisa dibayangkan betapa gemparnya masyarakat kala melihat hujan meteor intens.

4. Observatorium suku Maya yang mengintip langit malam tropis

Ilustrasi observatorium Uxmal milik suku Maya (commons.wikimedia.org/Dennis G. Jarvis)

Peradaban Maya di Amerika Tengah membangun observatorium astronomi seperti di Uxmal dan Chichen Itza. Mereka menata bangunan dengan presisi untuk mengamati lintasan matahari, bulan, dan bintang. Menurut National Museum of the American Indian, para astronom dari suku Maya juga memperhatikan fenomena meteor.

Letak geografis mereka memungkinkan pandangan langit malam yang jernih. Hujan meteor seperti Perseids (dan varian Epsilon-Perseids) tentu tidak luput dari pengamatan. Walaupun catatan eksplisit jarang ditemukan, budaya mereka yang mengaitkan cahaya langit dengan dewa perang dan kesuburan menunjukkan bahwa meteor pasti punya makna kosmologis.

Bagi suku Maya, langit adalah “papan tulis para dewa”. Meteor mungkin dianggap pesan singkat ilahi yang menyala sebentar, tapi membekas dalam ritual keagamaan mereka.

5. Mitologi Yunani, Perseus dan pedang cahaya dari langit

Ilustrasi mitologi kuno Yunani tentang Perseus (flickr.com/laxtonian)

Tidak bisa dilepaskan, hujan meteor Epsilon-Perseids berasal dari rasi Perseus. Dalam mitologi Yunani, Perseus adalah pahlawan pembunuh Medusa dan penyelamat Andromeda. Kisahnya sarat cahaya, pedang, dan senjata para dewa.

Menurut kanal digital Greek Mythology, bintang-bintang di Perseus dianggap sebagai simbol keberanian dan pertarungan kosmis. Saat meteor jatuh dari arah Perseus, masyarakat kuno bisa saja menafsirkan itu sebagai pedang Perseus yang masih berkilat di langit.

Meskipun tidak ada kuil khusus untuk hujan meteor, mitos ini menjadi dasar narasi spiritual, bahwa setiap kilatan langit adalah jejak dewa dan pahlawan.

Hujan meteor Epsilon-Perseids memang fenomena astronomi modern, tapi jejak mitologis dan arkeoastronomi menunjukkan bahwa manusia kuno tidak asing dengan “cahaya jatuh dari langit”. Dari Mesir hingga Tiongkok, dari Maya hingga Yunani, meteor bukan sekadar peristiwa langit, melainkan tanda kosmis yang membentuk kepercayaan dan budaya.

Jadi, saat menatap Epsilon-Perseids September ini, bayangkan bahwa kita sedang berbagi langit dengan jutaan mata manusia kuno yang pernah terkagum-kagum melihat “air mata bintang” serupa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team