Kenapa Amerika Tidak Pernah Mengekspor Jet Tempur F-22 Raptor?

Mendengar nama jet tempur, pasti yang terlintas di kepala kamu itu adalah pesawat keren, kan? Gimana tidak, pesawat ini bisa menukik dan berbelok tajam, mirip seperti yang ditampilkan dalam film Hollywood. Rupanya, Amerika Serikat memproduksi banyak pesawat tempur seperti F-15, F-16, F-22, dan F35A.
Di balik kehebatannya, pesawat tempur punya taruhan yang tidak main-main. Nyawa manusia dipertaruhkan, mengingat pesawat ini memiliki persenjataan berteknologi tinggi. Itulah sebabnya Amerika Serikat tidak mau mengekspor pesawat tempur F-22 Raptor ke negara lain, bahkan ke sekutunya. Ditambah lagi, harganya sangat mahal.
Sebenarnya, bukan berarti sekutu Amerika tidak tertarik dengan pesawat tempur F-22 ini. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Israel bahkan ingin memiliki pesawat tempur tersebut. Pada 1998, pemerintah AS memilih untuk mengubah Undang-Undang Anggaran Departemen Pertahanan (H.R.2266) yang secara khusus melarang penjualan F-22 Raptor ke negara lain.
Seperti yang dikatakan Kongres AS, "Tidak ada dana yang tersedia dalam Undang-Undang ini yang boleh digunakan untuk menyetujui atau memberi lisensi penjualan pesawat tempur taktis canggih F-22 ke pemerintah asing mana pun." Dana yang dimaksud terkait dengan pengeluaran anggaran yang digunakan untuk membeli F-22 dari Lockheed Martin. Lalu, kenapa Amerika tidak mau menjualnya meskipun ada yang berminat? Rupanya, pesawat tempur ini terlalu canggih dan AS tidak mau mengorbankan keunggulan militernya.
1. Pesawat tempur F-22 dinilai terlalu canggih untuk dijual
Apa yang membuat pesawat tempur F-22 sangat istimewa sampai-sampai AS tidak mau menjualnya? Angkatan Udara AS mengungkapkan tentang keunggulan pesawat ini, termasuk harganya yang sangat mahal, yaitu 143 juta dolar AS per jet atau setara dengan Rp2,4 triliun.
Bandingkan dengan F-15 Eagle yang harganya 27,9 juta dolar AS untuk model A/B atau setara dengan Rp468 miliar dan 29,9 juta dolar AS untuk model C/D atau setara dengan Rp500 miliar. Sementara, F-16 Fighting Falcon yang harganya 14,6 juta dolar AS untuk model A/B atau setara Rp245 miliar dan 18,8 juta dolar AS untuk model C/D atau setara Rp315 miliar. Jadi, mungkin saja negara lain tidak mampu membeli F-22. Bahkan AS hanya memiliki 183 unit pada 2022.
Sejauh menyangkut spesifikasi tempur dan terbang, F-22 menjadi pesawat tempur terbaik dari pesawat tempur lain. F-22 adalah pesawat tempur siluman, supercruise, punya kemampuan manuver, dan avionik yang terintegrasi. Ditambah dengan kemampuan dukungan yang tidak dapat ditandingi oleh pesawat tempur lain atau yang diproyeksikan dan sangat eksponensial dalam peperangan.
F-22 dan persenjataannya mendukung semua cabang militer di seluruh dunia, dan itu termasuk GBU-32 Joint Direct Attack Munitions, yang merupakan bom pintar dengan sistem panduan GPS. F-22 juga memiliki rangkaian sensor canggih, daya dorong yang lebih besar daripada jet lainnya, mobilitas luar biasa karena desain aerodinamis dan bobot yang ringan, serta banyak lagi. Intinya, F-22 sangat canggih sehingga AS tidak ingin membagikannya kepada siapa pun.
2. Tingginya biaya pengembangan, pemeliharaan, dan peningkatan F-22
Seperti yang sudah disebutkan, Lockheed Martin mengembangkan F-22 untuk militer AS. Perusahaan tersebut merupakan kontraktor pertahanan terbesar di Amerika, yang memenangkan dana sebesar 61,4 miliar dolar AS atau setara Rp1 kuadriliun dalam tender kontrak militer AS pada 2023. Namun, anggaran itu tidak seberapa. Amerika menggelontorkan dana pertahanan yang sangat besar, yaitu sebesar 841,4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp14,1 kuadriliun.
Lockheed Martin tidak sekadar menciptakan F-22 saja. Perusahaan ini juga terus mengembangkan, melakukan pemeliharaan, hingga terus meningkatkan F-22. Ketatnya operasi ini menunjukkan betapa sulitnya bagi negara lain untuk menggunakan, memelihara, dan meningkatkan F-22 mereka sendiri jika AS menjualnya kepada mereka.
Misalnya pada 2021, Defense News melaporkan bahwa Lockheed Martin memenangkan 10,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp183 triliun untuk memodernisasi F-22 mereka, yang awalnya mengudara pada 1997. Penawaran ini mencakup dukungan logistik, peningkatan, dan perbaikan jet yang ada. Belum lama ini, pada Januari 2025, Lockheed Martin memenangkan dana sebesar 270 juta dolar AS atau setara dengan Rp4,5 triliun untuk menggabungkan sensor inframerah canggih ke dalam pesawat.
Tak hanya Lockheed Martin, perusahaan lain bernama Pratt & Whitney juga membuat mesin F119 F-22. Perusahaan ini memenangkan kontrak senilai 1,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp25,1 triliun pada 2025 untuk terus mengembangkannya, penawaran ini termasuk lebih dari 400 pembangkit listrik. Jadi, jika negara lain bisa membeli F-22, bagaimana negara tersebut bisa mengimbangi semua pengembangan yang dilakukan terus menerus ini?
3. Amerika ingin mempertahankan dominasi militer global
Yap, kesimpulannya, F-22 itu mahal dan sangat canggih. Jadi, wajar saja jika AS tidak akan menjualnya kepada sekutu, apalagi musuhnya. Pasalnya, semua pengeluaran pertahanan negara, tawaran, hingga peningkatan berkelanjutan pada mesin yang ada dilakukan untuk mempertahankan dominasi militer AS di seluruh dunia. Itu berarti tidak hanya kualitas, tetapi juga kuantitas.
Global Firepower melansir kabar bahwa pada 2025, AS memiliki lebih banyak pesawat militer daripada negara lain, yakni 13.043 unit, termasuk sekitar 183 pesawat tempur F-22. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada negara lain, sehingga armada udara AS mencakup 53,3 persen dari semua pesawat militer di seluruh dunia.
Rusia sendiri memiliki pesawat militer terbanyak setelah AS, yaitu 4.292, diikuti oleh China, dengan 3.309. Lima kekuatan militer udara teratas mencerminkan peringkat kekuatan militer global secara keseluruhan, menempatkan Amerika Serikat di No. 1, diikuti oleh Rusia, China, India, dan Korea Selatan. Kekuatan udara sangat penting bagi peperangan modern, dan ini menjelaskan kenapa AS selalu mengembangkan armada pesawatnya.
Jadi, jika AS berbagi kecanggihan F-22 kepada sekutu, berarti AS akan kehilangan sebagian kekuatannya untuk mengendalikan negara-negara sekutu dan membuat sekutunya kurang bergantung pada AS. Tentu ini adalah strategi tangan besi yang mengesampingkan masalah moral, ya. Gimana, nih, pendapat kamu?