Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
banjir
ilustrasi banjir (pexels.com/Pok Rie)

Intinya sih...

  • Hutan tidak selalu mampu menahan air banjir karena kapasitas simpan tanah terbatas

  • Dampak deforestasi berbeda-beda tergantung pada skala wilayahnya

  • Banjir jarang disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan dari banyak kondisi yang bertemu pada waktu tertentu

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Hubungan antara banjir dan deforestasi sering dipahami secara linier. Seolah satu peristiwa otomatis memicu yang lain. Sedangkan kita perlu tahu bahwa banjir adalah hasil interaksi banyak hal.

Ketika deforestasi diposisikan sebagai satu-satunya variabel, proses alam yang kompleks menjadi terlalu disederhanakan. Untuk memahami relasinya secara lebih akurat, berikut beberapa kesalahan umum membaca hubungan banjir dan deforestasi yang perlu kamu ketahui. Baca sampai akhir, ya!

1. Hutan dianggap selalu bekerja seperti spons raksasa

ilustrasi hutan (pexels.com/Tyler Lastovich)

Hutan kerap dibayangkan menyerap air tanpa batas, seolah tanah di bawahnya tidak pernah penuh. Gambaran ini membuat hutan terlihat mampu mencegah semua jenis banjir. Padahal, tanah tetap memiliki kapasitas simpan yang terbatas. Saat kapasitas itu terlampaui, air akan mengalir ke permukaan.

Ketika hujan sangat deras dan berlangsung lama, tanah jenuh tidak peduli ada atau tidaknya tutupan hutan. Limpasan tetap terjadi karena ruang penyimpanan air sudah habis. Dalam kondisi ini, banjir bukan kegagalan hutan, melainkan batas alami sistem tanah. Menganggap hutan selalu bisa menahan air justru menyesatkan cara membaca banjir.

2. Dampak deforestasi disamakan di semua skala wilayah

ilustrasi deforestasi (pexels.com/Samira Thapa)

Efek deforestasi sering ditarik terlalu jauh dari konteks aslinya. Temuan di wilayah kecil kerap digunakan untuk menjelaskan banjir di sistem sungai besar. Padahal, aliran air di area sempit dan di cekungan besar bekerja dengan logika yang berbeda. Skala menentukan bagaimana dampak itu muncul.

Pada wilayah kecil, perubahan tutupan lahan memang bisa memengaruhi banjir ringan hingga menengah. Namun, pada banjir besar yang melibatkan wilayah luas, faktor cuaca berskala besar jauh lebih dominan. Dalam kondisi seperti ini, kehilangan hutan di satu bagian hulu tidak lagi menjadi penentu utama. Mengabaikan perbedaan skala membuat hubungan sebab-akibat terlihat lebih sederhana dari kenyataan.

3. Semua banjir dianggap akibat langsung deforestasi

ilustrasi banjir (pexels.com/Dibakar Roy)

Deforestasi sering dijadikan jawaban tunggal untuk setiap bencana banjir besar. Cara baca ini menghapus peran faktor lain yang bekerja bersamaan. Padahal, banjir jarang lahir dari satu perubahan saja. Ia muncul dari pertemuan banyak kondisi pada waktu tertentu.

Curah hujan ekstrem, perubahan penggunaan lahan, hingga modifikasi aliran air buatan manusia ikut membentuk risiko banjir. Ketika satu faktor diangkat sendirian, penjelasan menjadi timpang. Menyalahkan deforestasi saja terasa mudah, tetapi tidak selalu tepat. Kesalahan ini membuat solusi yang ditawarkan sering meleset sasaran.

4. Perubahan kawasan juga jadi faktor penyebab banjir

ilustrasi banjir (pexels.com/Dibakar Roy)

Air bergerak sangat cepat di permukaan keras seperti jalan, bangunan, dan area industri. Perubahan ini mempercepat aliran air menuju sungai tanpa sempat tertahan. Dampaknya sering muncul lebih cepat dibanding perubahan lanskap. Namun, faktor ini sering berdiri di luar narasi deforestasi.

Ketika hutan terus disorot, limpasan dari kawasan terbangun kerap luput dibahas. Padahal, air dari wilayah ini bisa memicu lonjakan debit secara mendadak. Dalam banyak kasus, kontribusinya bahkan lebih terasa dibanding hilangnya tutupan hutan. Membaca banjir tanpa memasukkan aspek ini membuat gambaran penyebabnya tidak utuh.

5. Hubungan banjir dan deforestasi disederhanakan tanpa konteks

ilustrasi deforestasi (pexels.com/Pok Rie)

Penjelasan soal banjir sering berhenti pada jawaban “iya” atau “tidak”. Pendekatan seperti ini mengabaikan perbedaan kondisi tanah, jenis hutan, dan tahap perubahan lahan. Padahal, efek deforestasi tidak seragam di setiap tempat.

Hutan muda, hutan tua, tanah berpasir, dan tanah liat memberi respons yang berbeda terhadap hujan. Kehilangan kanopi dan akar memang bisa meningkatkan risiko banjir, tetapi besar kecilnya dampak tidak bisa digeneralisasi. Di titik ini, kesalahan membaca hubungan keduanya menjadi tak terhindarkan.

Kesalahan umum membaca hubungan banjir dan deforestasi sering kali muncul karena dijelaskan melalui satu variabel atau satu peristiwa tunggal. Risiko banjir terbentuk dari interaksi antara intensitas hujan hingga  perubahan penggunaan lahan yang berlangsung bersamaan. Ketika salah satu faktor tersebut dipisahkan dari konteksnya, kesimpulan yang dihasilkan cenderung menyederhanakan proses yang sebenarnya terjadi.

Referensi:

"Forest--flood relation still tenuous--comment on ‘Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world’by CJA Bradshaw, NS Sodi, KS-H. Peh and BW Brook" Global Change Biology. Diakses pada Desember 2025

"Managing Flood Risk: How Is Deforestation Related to Erosion and Flooding?" Trapbag. Diakses pada Desember 2025

"How Can Deforestation Cause Flooding?" Emission. Diakses pada Desember 2025

"UGM Expert: Severe Sumatra Flash Floods Driven by Upper Watershed Forest Degradation" UGM. Diakses pada Desember 2025

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team