Ilustrasi perkebunan kepala sawit (pexels.com/Mohan Nannapaneni)
Kelapa sawit adalah raja komoditas industri minyak nabati. Ia hadir di minyak goreng, margarin, sabun, kosmetik, hingga bahan bakar bio‑energi. Karena permintaannya terus naik, banyak perusahaan mendirikan perkebunan ini dalam skala besar. Hasilnya, area hutan tropis yang luas ditebang, lalu diganti hamparan monokultur sawit.
Menurut data global, pada periode 2001–2015, sawitlah yang menggantikan sekitar 10,5 juta hektar hutan, menjadikannya komoditas kedua paling banyak menggusur hutan setelah peternakan sapi. Di Indonesia dan Malaysia, ekspansi massif sawit menghilangkan banyak hutan primer, mengusir habitat satwa liar, dan merusak ekosistem lokal.
Dampak sosial‑ekologis dari ekspansi sawit pun besar: hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya aliran air, erosi tanah, kehilangan mata pencaharian masyarakat tradisional, serta emisi karbon dari pembukaan hutan. Oleh karena itu, meskipun sawit mendatangkan banyak produk murah dan populer, penting bagi konsumen maupun pembuat kebijakan untuk mendesak praktik sawit berkelanjutan, misalnya lewat sertifikasi atau penggunaan lahan bekas agar hutan bisa tetap lestari.