Djamaluddin Adinegoro (IDN Times/Aditya Pratama)
Awalnya menimba ilmu kedokteran di STOVIA, Djamaluddin malah tertarik ke bidang jurnalistik saat bekerja di Tjahaja Hindia. Karena STOVIA tidak diperbolehkannya menulis, maka Djamaluddin memakai inisial "DJ" hingga pseudonim "Adinegoro" (untuk menarik minat khalayak dari Jawa).
Oleh karena itu, Adinegoro berhenti dari STOVIA dan hijrah ke benua Eropa untuk memperdalam ilmu jurnalistik. Selama di Eropa, Adinegoro tetap mengirimkan tulisan yang dikompilasi menjadi buku Melawat ke Barat oleh Panji Pustaka pada 1930, dan artikel kepada surat kabar Pewarta Deli serta Bintang Timoer.
Saat kembali ke Indonesia pada 1931, Adinegoro sempat bekerja di Balai Pustaka sebelum hengkang ke Medan, Sumatra Utara, untuk memimpin redaksi Pewarta Deli hingga masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942. Di bawah kepemimpinannya, Pewarta Deli maju pesat.
Pada 1948, Adinegoro menjadi salah satu pendiri majalah mingguan Mimbar Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi Mimbar Indonesia untuk dikenal oleh rakyat Indonesia, terutama saat Adinegoro memberitakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949 saat Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Lalu, pada 1951, beliau mengepalai Yayasan Pers Biro Indonesia (PIA). Lalu, sampai akhir hayatnya pada 1967, Adinegoro mengabdi di LKBN Antara. Atas dedikasinya untuk kemajuan jurnalistik Indonesia, Anugerah Adinegoro ditahbiskan sebagai penghargaan jurnalistik tertinggi sejak 1974 oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).