Hari Pers 2022, Jalan Panjang Lahirkan Good Journalism

Jakarta, IDN Times - Belakangan, diskusi soal jurnalisme berkualitas (good journalisme) sedang hangat, baik di sejumlah webinar soal pers maupun grup komunikasi pemimpin redaksi. Di forum media internasional ini bukan hal baru. Setiap ajang pertemuan media global, termasuk di peringatan Hari Pers Sedunia, selalu membahas soal ini, yang ujungnya adalah kembali ke prinsip dasar jurnalisme yang berlaku universal.
Dalam berbagai kesempatan, baik di forum pelatihan jurnalistik maupun internal ruang redaksi, saya selalu mengatakan, mematuhi dan menjalankan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan 11 pasal di Kode Etik Jurnalistik yang disepakati lewat forum Dewan Pers, sudah mengarahkan jurnalis untuk menyajikan jurnalisme berkualitas.
Tapi itu belum cukup. Saat menjelaskan piramida Uji Kompetisi Wartawan, misalnya, saya juga menyampaikan, bahwa memahami dua aturan di atas baru dasar-dasarnya. Jurnalis perlu memahami Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan puluhan undang-undang lainnya, belum termasuk aturan di bawahnya.
Jurnalis yang meliput rubrik kesehatan harus paham UU Kesehatan. Jurnalis yang meliput politik harus paham UU Pemilu. Jurnalis yang meliput perbankan harus paham UU Perbankan. Pemilihan diksi saat menulis orang dengan HIV/AIDS, meliput korban kekerasan seksual. Dan seterusnya.
Melelahkan dan bikin pusing, bukan? Memang berat menjadi jurnalis.
Pandemik COVID-19 dan serentetan fenomena global yang terjadi sebelumnya, mulai dari polarisasi politik, tsunami informasi yang mengepung kita, berikut hoaks dan misinformasi, ancaman terhadap jurnalis baik fisik maupun mental serta lewat dunia maya, krisis iklim dan sebagainya menambah daftar kesulitan menjadi jurnalis. Sikap mau belajar hal baru, termasuk soal teknis dan adaptasi terhadap teknologi makin penting.
Pada era digital, jurnalis dihadapkan kepada keharusan memahami data. Jurnalis dan editor dibekali dengan beragam alat analisis, mulai dari yang paling sederhana dan mudah dipahami, Google Analytics, CrowdTangle, Content Insights dan semacamnya. Yang agak canggih dan bayarnya rada mahal seperti Chartbeat. Setiap pagi bagian pengembangan khalayak (audience development) di setiap media menyajikan tren di masing-masing platform teknologi raksasa.
“Ini konten yang sedang trending, apakah kita ada artikelnya?” Editor harus rajin meminta optimasi artikel dan push notification untuk mendapatkan pembaca. Menambah pembaca (users), keterbacaan (reads), dan halaman dibaca (pageviews) jadi target pencapaian kinerja.
Platform teknologi yang memiliki algoritma (yang pastinya bisa mereka kontrol) itu menjadi “editor publik”, memengaruhi keputusan redaksi dalam produksi konten. Mengejar metrik. Lalu, di mana peran nilai-nilai jurnalisme yang berpihak kepada kepentingan publik, dijalankan dalam lanskap jurnalisme yang andalkan kecepatan dan “click”? Bagaimana tugas voicing the voiceless dan afirmasi kepada kelompok minoritas?
Dalam buku terbaru berjudul All The News That’s Fit To Click, Caitlin Petre, asisten profesor jurnalisme dan studi media di Rutgers University menuliskan, “metrik membuat jurnalis bingung dan menghadapi dilema. Jika mereka tidak pedulikan data (dari platform teknologi) mereka berisiko dianggap bodoh, ketinggalan zaman, ikut arus berita viral, semua hal yang membahayakan nasib dan berpotensi membuat mereka kehilangan pekerjaan. Namun, jika mereka terpaku kepada metrik saja, mereka akan terkorupsi integritas profesionalismenya sebagai jurnalis dan berisiko menghancurkan reputasi mereka.”
Saya mendapat oleh-oleh buku itu dari William Utomo, co-founder IDN Media, yang berarti juga IDN Times, di mana saya bekerja sebagai pemimpin redaksinya. Caitlin Petre mewawancarai ratusan narasumber di ruang redaksi di AS, termasuk yang sangat intensif di New York Times dan Gawker. Dia menangkap keengganan jurnalis berintegritas di ruang redaksi untuk menundukkan diri kepada tuntunan metrik. Para reporter tidak diberikan akses ke data metrik agar mereka masih punya semangat untuk menggali informasi, tip berita dan menyajikan news that matter for public. Menyajikan jurnalisme berkualitas. Mumpung masih muda.

Enam hari lalu, saat menelusuri sejumlah artikel dengan kata kunci “good journalism”, saya menemukan situs African Center for Media Excellence (ACME), yang menyajikan karakteristik jurnalisme berkualitas itu. Mereka menganggap bahwa karakteristik ini berlaku universal, di belahan dunia mana pun jurnalis bekerja. Saya setuju dengan mereka. Di bawah ini poin-poinnya:
- Jurnalisme berkualitas tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan menyajikan informasi yang bermakna bagi kehidupan orang.
- Menyajikan informasi yang signifikan dan relevan.
- Menawarkan konteks dan perspektif.
- Menjelaskan ragam isu dan membantu mendidik dan mencerahkan khalayak.
- Menawarkan analisis dan kedalaman.
- Menyediakan forum publik yang secara bersamaan memberikan informasi, sekaligus mengajak publik terlibat dalam diskusi.
- Memicu debat publik terhadap isu saat itu, termasuk tema yang jarang didiskusikan padahal memengaruhi kehidupan masyarakat.
- Menanyakan pertanyaan yang tepat dan menyediakan forum di mana hal itu bisa dijawab.
- Kredibel dan otoritatif.
- Menjunjung tinggi nilai keberagaman.
- Menyajikan kebenaran dan akurasi.
- Bersikap adil dan imparsial.
- Independen (berjarak dari kepentingan baik itu politik maupun komersial).
- Menunjukkan upaya dan semangat menggali informasi.
- Menarik.
Untuk bisa menyajikan jurnalisme berkualitas pemahaman yang baik tentang institusi dan komunitas yang diliput itu penting. Bagaimana mereka bekerja? Proses kunci? Apa jargon institusi? Apa bahasa yang digunakan? Siapa pemain kuncinya? Apakah ada suara lain yang jarang diliput? Regulasi positif dan informal tentulah perlu dipahami juga.
Menentukan narasumber mana dari instansi atau komunitas mana yang diwawancarai adalah proses penting, disarankan memiliki narasumber yang beragam. Jurnalis juga diharapkan memahami potensi sumber informasi potensial, termasuk fakta dalam dokumentasi.
Riset. Riset. Riset.
Semangat untuk menggali informasi di luar instansi resmi seperti parlemen, balaikota, polisi ke warga di komunitas. Apa yang paling dipikirkan komunitas? Apakah kriminalitas, pencemaran, buruknya kondisi jalan, pasokan listrik tidak memadai, atau semua hal tersebut? Apa yang dilakukan pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah soal itu? Apa yang dilakukan pemangku kepentingan lain untuk masalah tersebut?
Sikap ingin tahu, latar-belakang pendidikan yang cukup, pemahaman isu lintas disiplin, menyukai dan mengikuti perkembangan isu terkini, sikap percaya diri, bersikap skeptis, rendah hati, penuh determinaasi, pekerja keras, kreatif, memahami bahasa dengan baik (lebih dari satu bahasa pasti sangat membantu), sabar, terus belajar dan berlatih.
Hal-hal itu dianggap membantu mendorong lahirnya karya jurnalisme berkualitas.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dalam Konvensi Nasional Hari Pers Nasional 2020 mengatakan, ada tiga syarat mendukung good journalism, yaitu kompetensi wartawan, perlindungan wartawan, dan kesejahteraan wartawan. “Perlindungan wartawan dalam melaksanakan tugasnya mutlak harus dilindungi,” kata Nuh.
Saya sepakat. Laporan investigasi jurnalistik sudah banyak memakan korban nyawa jurnalis di berbagai negara. Di dalam negeri ancaman terhadap jurnalis masih tinggi. Padahal, laporan investigasi yang hasilnya memengaruhi persepsi publik dan pengambilan keputusan, adalah contoh karya jurnalisme berkualitas.
Dari sisi medianya, tentu investasi untuk jurnalisme berkualitas itu penting. Tiga hal mendasar yang tidak kalah penting dijalankan (menurut saya sudah bukan waktunya didiskusikan lagi), dan diperjuangkan.
Dewan Pers yang lahir setelah reformasi sudah melakukan upaya mendorong lahirnya karya jurnalisme berkualitas lewat ratusan, mungkin ribuan pelatihan yang mereka lakukan. Begitu juga berbagai lembaga pendidikan jurnalistik dan organisasi profesi jurnalis. Sejumlah media arus utama juga memberikan akses pelatihan dan pengembangan profesi bagi jurnalisnya, baik dengan format pelatihan maupun diskusi di ruang redaksi setiap saat.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro, Diversity Award oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), dan kompetisi jurnalistik yang banyak dilakukan berbagai lembaga, ikut berkontribusi terhadap meningkatnya semangat memproduksi karya jurnalistik berkualitas. Setidaknya karya jurnalistik tidak diklaim berkualitas oleh jurnalis atau redaksinya, tetapi mendapatkan pengakuan dari dewan juri yang mengkurasi karya jurnalistik dari berbagai aspek penilaian.
Good journalism menurut saya tidak perlu dikampanyekan. Diklaim. Kita perlu melihat ke dalam diri kita masing-masing, apakah sudah menyediakan semua syarat yang diperlukan untuk melahirkan jurnalisme berkualitas itu. Hal yang saya pun masih berjuang bareng teman-teman di redaksi.
Selamat Hari Pers Nasional 2022