ilustrasi bertani sistem agroforestri (pexels.com/Zen Chung)
Sistem agroforestri punya tantangan yang kompleks. Dalam buku berjudul Ketika kebun berupa hutan—Agroforest khas Indonesia—Sumbangan masyarakat bagi pembangunan berkelanjutan, de Foresta dkk., menyebutkan bahwa banyak ahli agronomi dan kehutanan masih memandang sistem ini kurang produktif dibandingkan monokultur, padahal manfaatnya jauh lebih beragam. Ditambah lagi, agroforestri sering dianggap metode kuno yang ketinggalan zaman, meskipun sebenarnya sudah banyak inovasi baru yang bikin sistem ini lebih modern dan relevan.
Masalah lainnya adalah soal kepemilikan lahan. Banyak petani enggan mengadopsi agroforestri karena mereka enggak yakin dengan status tanah yang mereka garap, apalagi kalau tanahnya milik pemerintah. Tanpa kepastian hak lahan, mereka jadi kurang termotivasi untuk berinvestasi jangka panjang. Belum lagi, akses terhadap modal, pengetahuan, dan bantuan teknis juga masih terbatas, bikin mereka makin kesulitan untuk menjalankan agroforestri dengan optimal.
Selain itu, faktor sosial juga berpengaruh besar. Banyak petani kecil yang keputusan tanamannya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh lokal. Di sinilah peran pemerintah dan komunitas lokal jadi penting. Dukungan berupa kebijakan kredit yang fleksibel dan edukasi tentang manfaat agroforestri bisa membantu petani lebih percaya diri untuk mencoba sistem ini, tanpa harus takut merugi.
Agroforestri bukan cuma soal teknik bertani atau menanam pohon, tapi juga tentang cara kita menjaga harmoni antara manusia dan alam. Dengan memadukan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, pendekatan ini menawarkan solusi yang berkelanjutan tanpa harus memilih salah satu. Jadi, kenapa nggak mulai sekarang kita dukung praktik agroforestri? Entah itu lewat edukasi, kebijakan, atau sekadar mendukung produk-produk lokal yang ramah lingkungan.