Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kedinginan (unsplash.com/Nathaniel Flowers)
ilustrasi kedinginan (unsplash.com/Nathaniel Flowers)

Saat musim kemarau mencapai puncaknya, sebagian wilayah di Indonesia mulai mengalami penurunan suhu cukup ekstrem. Khususnya pada malam hingga pagi hari. Pada waktu tersebut, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan di beberapa daerah dataran tinggi, suhu bisa turun hingga belasan derajat Celsius.

Fenomena ini dikenal dengan istilah bediding, kondisi cuaca yang sering muncul secara musiman. Apa itu fenomena bediding yang kerap terjadi setiap tahun saat kemarau? Yuk, cari tahu penjelasan lengkap, waktu terjadinya, hingga wilayah mana saja yang terdampak fenomena ini!

Apa itu fenomena bediding?

ilustrasi embun upas (commons.wikimedia.org/Benni Indo)

Fenomena bediding adalah kondisi saat suhu udara turun drastis pada malam hingga pagi hari, khususnya ketika puncak musim kemarau. Istilah bediding atau dalam bahasa Jawa disebut bedhidhing digunakan secara lokal untuk menggambarkan cuaca yang sangat dingin pada malam maupun dini hari. Namun, suhu udara tetap terasa panas pada siang harinya. Fenomena ini biasanya terjadi pada Juli hingga September, saat langit cenderung cerah dan curah hujan sangat minim.

Secara klimatologis, bediding merupakan hal normal. Minimnya awan membuat panas dari radiasi Matahari yang diserap permukaan Bumi pada siang hari langsung terlepas kembali ke atmosfer saat malam sebagai radiasi gelombang panjang.

Nah, karena kelembapan udara juga rendah, uap air di permukaan menjadi sediki, sehingga tidak banyak yang menahan pelepasan panas tersebut. Inilah yang menyebabkan suhu permukaan Bumi turun drastis danudara terasa sangat dingin pada malam hingga pagi hari.

Kapan fenomena bediding berlangsung?

Disinggung sebelumnya, fenomena bediding umumnya terjadi saat puncak musim kemarau, yaitu sekitar Juli hingga awal September. Pada periode ini, langit cenderung lebih cerah, curah hujan rendah, dan tutupan awan minim. Alhasil, proses pelepasan panas dari permukaan Bumi ke atmosfer berlangsung lebih cepat pada malam hari. Akibatnya, suhu udara turun signifikan terutama saat malam hingga dini hari.

Menurut BMKG, pada 2025, kondisi atmosfer di beberapa wilayah Indonesia bagian selatan masih tergolong basah hingga awal Juli. Hal ini disebabkan oleh Monsun Australia yang masih lemah sehingga aliran udara kering dari selatan belum mendominasi sepenuhnya.

Meski begitu, suhu dingin mulai tercatat di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Lembang, dan Dataran Tinggi Dieng yang secara historis memang kerap mengalami suhu rendah saat musim kemarau. Bahkan wilayah perkotaan seperti Jakarta hingga kawasan di Jawa Timur bisa mencatat suhu minimum harian di kisaran 22—23 derajat Celsius. Meskipun tidak ekstrem, tapi tetap terasa lebih sejuk dari biasanya.

Penyebab suhu dingin saat musim kemarau

Pertanyaannya, kenapa suhu udara saat musim kemarau justru lebih dingin? Hal ini ada kaitannya dengan pancaran sinar Matahari pada periode ini. Selain itu, pergerakan angin pun turut memengaruhinya.  

Lebih jelasnya, penyebab suhu dingin saat kemarau bisa disebabkan oleh atmosfer. Pada periode ini, hujan jarang terjadi sehingga awan yang menutupi langit pun berkurang.

Pada siang hari, kamu merasakan panas yang sangat terik, kan? Itu karena panas yang dipancarkan Matahari ke permukaan Bumi lebih cepat serta lebih banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer. Di luar itu, berkurangnya curah hujan juga memicu kelembapan udara yang rendah. Artinya, uap air di dekat permukaan Bumi menjadi sedikit.

Nah, seluruh rangkaian fenomena tersebut membuat udara di dekat permukaan terasa lebih dingin. Terutama pada pagi dan malam hari.

Selain itu, pergerakan angin muson timur yang menggiring massa udara dingin dari Australia ke kawasan indonesia juga turut berpengaruh. Pasalnya, angin tersebut bertiup dari Australia melewati Samudra Hindia yang memiliki suhu permukaan laut relatif rendah alias dingin. 

Dampak fenomena bediding

ilustrasi perempuan merasa kedinginan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Bediding memang bukan fenomena langka yang berbahaya. Namun, fenomena tersebut berdampak pada kehidupan sehari-hari. Paling terasa tentu saja suhu dingin di sejumlah wilayah, bahkan di kawasan yang biasanya bersuhu tinggi. Lebih tepatnya, wilayah yang mengalami penurunan suhu berada di di bagian selatan khatulistiwa.

Deputi Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Guswanto, menjelaskan bahwa perubahan suhu bisa cukup terasa. Misalnya, suhu normal pada malam hari sekitar 21—23 derajat Celsius. Namun, saat bediding dapat mencapai 17—19 derajat Celsius. 

Di sejumlah daerah dataran tinggi, seperti Dieng di Wonosobo dan kawasan Bromo, muncul pula fenomena embun upas. Suhu dingin saat musim kemarau ini membuat dua wilayah tersebut tampak berselimut salju. 

Meski demikian, suhu dingin dan embun upas ini dikatakan tidak selalu indah. Kondisi tersebut bisa membuat tanaman menghitam dan mati seperti keracunan. Itu karena suhu dingin dapat membekukan jaringan pengangkut yang memengaruhi keseluruhan fungsi hidup tanaman. 

Memasuki Juli yang merupakan puncak musim kemarau, kamu sudah merasakan apa itu fenomena bediding? Jangan lupa kenakan jaket, terutama saat pagi dan malam hari, ya. Perubahan suhu ini mungkin memengaruhi kesehatanmu, lho.

Referensi

"Mengenal Fenomena Udara Dingin 'Bediding'". BPBD Klaten. Diakses Juli 2025.

"Fenomena Udara Dingin (Bediding) Pada Musim Kemarau". BMKG Stasiun Klimatologi Sumatera Selatan. Diakses Juli 2025.

Editorial Team