ilustrasi pelajar (pexels.com/Chu Chup Hinh)
Meski di banyak negara sempoa telah ditinggalkan, alat hitung tradisional ini tetap diminati di Jepang, khususnya di kalangan pelajar. Ribuan siswa masih mempelajari soroban.
"Dalam kurikulum, terdapat kelas soroban untuk siswa kelas tiga dan empat di sekolah dasar. Tapi itu hanya beberapa jam saja. Jadi, untuk mempelajarinya dengan lebih baik, banyak siswa mengikuti les soroban di luar jam sekolah," ujar Takao Taniguchi, guru sempoa Jepang, hasil wawancara BBC.
Pelajar soroban di Jepang bervariasi usianya, mulai dari lima hingga 20 tahun. Mereka mendapatkan sertifikasi berupa kyu dan dan, yang sistemnya serupa dengan tingkatan sabuk dalam seni bela diri. Peringkat tertinggi, 10 dan, mencerminkan kemampuan luar biasa dalam menghitung dengan kecepatan dan akurasi tinggi.
Dalam artikel The Japanese Soroban: A Brief History and Comments on its Educational Role (2010), James Cusick menuliskan, meskipun teknologi seperti kalkulator dan komputer telah mengurangi popularitasnya sejak masa pascaperang, soroban masih digunakan oleh sekitar 20 juta orang di Jepang.
Sekitar 700.000 siswa terdaftar di juku, sekolah tambahan yang mengajarkan soroban dan mata pelajaran khusus lainnya. Bahkan, jumlah peserta ujian sertifikasi soroban meningkat sekitar 10 persen setiap tahun sejak 2005, menunjukkan bahwa tradisi ini terus bertahan dan berkembang di generasi muda.