Contoh mumi dari suku Dani (A) dan mumi Pumo (B) yang dimumikan dengan metode pengasapan, difoto pada 2019. (pnas.org/Hirofumi Matsumura dan Hsiao-chun Hung)
Menurut penulis utama studi Hsiao-chun Hung, dilansir Live Science, metode pengasapan dipilih bukan hanya untuk memperlambat kerusakan kerangka jenazah tetapi memiliki makna spiritual, religius, dan budaya yang lebih besar dibanding proses pengawetan lainnya.
Praktik mumifikasi ini diyakini sebagai cara nyata agar orang terkasih yang telah meninggal masih tetap hadir di antara mereka yang hidup. Pengasapan juga dinilai sebagai teknik paling efektif untuk mengawetkan jenazah di Asia Tenggara yang beriklim panas dan lembap.
Rekan penulis studi Peter Bellwood, seorang arkeolog di Universitas Nasional Australia (ANU), dikutip dari Australian Broadcasting Corporation (ABC), mengatakan proses memumikan jenazah dengan pengasapan dilakukan agar masyarakat terdahulu yang diyakini pemburu nomaden itu dapat membawa mumi-mumi selama bepergian.
Pengasapan mayat masih dilakukan hingga saat ini di Papua. Para peneliti sempat mengunjungi wilayah Wamena pada 2019 untuk mengamati beberapa mumi leluhur suku Dani, yang dimumifikasi dengan pengasapan hingga seluruhnya menghitam. Mereka percaya masyarakat suku telah melakukan tradisi kuno ini sejak lama.