Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mumifikasi
Mumi pria paruh baya yang dimumikan dengan pengasapan dan dikuburkan lebih dari 9.000 tahun lalu di Guangxi, Tiongkok selatan. (abc.net.au/Yousuke Kaifu dan Hirofumi Matsumura)

Intinya sih...

  • Penemuan Kerangka Jenazah dengan Posisi Aneh

  • Pengawetan dengan Asap

  • Metode Pengasapan Punya Makna Lebih Besar

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Metode mumifikasi tertua di dunia bukanlah membungkus jenazah dengan kain oleh Mesir Kuno pada 4.500 tahun lalu atau mengeringkan mayat Chinchorro sejak 7.000 tahun silam di gurun Chili. Studi terbaru mengungkap proses memumikan jenazah paling awal dilakukan oleh orang Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan metode pengasapan yang telah ada sekitar 12.000 tahun lalu.

Praktik mumifikasi dengan pengasapan bahkan masih dilakukan hingga sekarang di Indonesia. Simak penjelasannya.

1. Penemuan Kerangka Jenazah dengan Posisi Aneh

Tim peneliti menggali situs pemakaman kuno di Guangxi, Tiongkok selatan. (theconversation.com/Hsiao-chun Hung)

Dalam penelitian 2025 yang diterbitkan jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), mengutip Smithsonian Magazine, para ilmuwan menemukan banyak kerangka mayat terlipat dalam posisi berjongkok saat meneliti 54 situs makam berusia 4.000-12.000 tahun yang tersebar di Tiongkok selatan, Filipina, Laos, Malaysia, Thailand, dan Indonesia.

Ketika diamati, kerangka hanya terdiri dari tulang tanpa kulit dan rambut. Beberapa bagian tulang jenazah juga tampak terbakar meski tidak ditemukan api atau tilasnya di sekitar pemakaman kuno itu. Para peneliti pun meyakini mayat-mayat itu terpapar panas sebelum dimakamkan.

2. Pengawetan dengan Asap

Mumi wanita paruh baya ditemukan di situs Liyupo, Tiongkok selatan yang diawetkan dengan pengasapan. (theconversation.com/Hsiao-chun Hung)

Pengujian difraksi sinar-X dan spektroskopi inframerah dilakukan untuk memeriksa bekas hangus di kerangka mayat. Tes ini mengungkap bercak gosong itu bukan ditimbulkan oleh pembakaran langsung seperti kremasi, tetapi paparan panas bersuhu rendah.

Para arkeolog menyimpulkan jenazah-jenazah itu diawetkan secara sengaja dengan pengasapan. Beberapa kerangka yang diteliti bahkan telah terpapar suhu melebihi 500 derajat celcius dan lainnya terpapar suhu lebih rendah.

Praktik mumifikasi ini diperkirakan membutuhkan waktu tiga bulan hanya untuk mengawetkan satu mayat. Prosesnya dilakukan dengan mengikat jenazah dalam posisi jongkok sebelum meletakkan atau menggantungnya di atas api yang berasap agar kering.

Setelah pengasapan, mumi tidak dimasukkan ke dalam peti sehingga pengawetan dengan metode ini hanya bertahan beberapa dekade hingga beberapa ratus tahun.

3. Metode Pengasapan Punya Makna Lebih Besar

Contoh mumi dari suku Dani (A) dan mumi Pumo (B) yang dimumikan dengan metode pengasapan, difoto pada 2019. (pnas.org/Hirofumi Matsumura dan Hsiao-chun Hung)

Menurut penulis utama studi Hsiao-chun Hung, dilansir Live Science, metode pengasapan dipilih bukan hanya untuk memperlambat kerusakan kerangka jenazah tetapi memiliki makna spiritual, religius, dan budaya yang lebih besar dibanding proses pengawetan lainnya.

Praktik mumifikasi ini diyakini sebagai cara nyata agar orang terkasih yang telah meninggal masih tetap hadir di antara mereka yang hidup. Pengasapan juga dinilai sebagai teknik paling efektif untuk mengawetkan jenazah di Asia Tenggara yang beriklim panas dan lembap.

Rekan penulis studi Peter Bellwood, seorang arkeolog di Universitas Nasional Australia (ANU), dikutip dari Australian Broadcasting Corporation (ABC), mengatakan proses memumikan jenazah dengan pengasapan dilakukan agar masyarakat terdahulu yang diyakini pemburu nomaden itu dapat membawa mumi-mumi selama bepergian.

Pengasapan mayat masih dilakukan hingga saat ini di Papua. Para peneliti sempat mengunjungi wilayah Wamena pada 2019 untuk mengamati beberapa mumi leluhur suku Dani, yang dimumifikasi dengan pengasapan hingga seluruhnya menghitam. Mereka percaya masyarakat suku telah melakukan tradisi kuno ini sejak lama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team