Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Christopher Columbus menunjuk arah penaklukan berikutnya di Zona Kolonial di Santo Domingo, Republik Dominika (unsplash.com/@kev01218)
Christopher Columbus menunjuk arah penaklukan berikutnya di Zona Kolonial di Santo Domingo, Republik Dominika (unsplash.com/@kev01218)

Intinya sih...

  • Kolonialisme adalah eksploitasi, bukan bantuan sosial sukarela

  • Kemajuan tidak ditentukan penjajah, tapi sistem

  • Warisan kolonialisme yang buruk jauh lebih banyak daripada yang baik

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak orang suka nyeletuk,

“Coba dulu kita dijajah sama negara Y, pasti sekarang lebih maju!” atau

"Coba kita masih ada di bawah jajahannya negara Z, pasti gak sengsara kayak sekarang!"

Kedengarannya keren, tapi sebenarnya itu argumen yang aneh banget. Kenapa? Karena kolonialisme, siapa pun pelakunya, punya tujuan sama: eksploitasi, bukan membangun bangsa jajahan. Kalau memang penjajahan itu bawa kemajuan, leluhur kita gak bakal mati-matian berjuang buat merdeka. Jadi, mari kita bongkar kenapa logika ini salah kaprah.

1. Kolonialisme itu eksploitasi, bukan bantuan sosial sukarela

Patung orang berkalung rantai di Christ Church Cathedral, Stone Town, Zanzibar, Tanzania (unsplash.com/@pols__)

Sejarawan ekonomi seperti Kamer Daron Acemoglu menjelaskan, penjajah bikin sistem buat mengambil untung sebesar-besarnya, bukan membangun bangsa jajahannya. Kadang mereka bikin sekolah atau jalan, tapi itu cuma supaya urusan eksploitasi lancar. Jadi, nggak ada penjajah yang “baik hati”. Semua tujuannya tetap sama: keuntungan akan selalu ada buat mereka, bukan kita.

2. Kemajuan gak ditentukan penjajah, tapi sistem

Marina Bay Sands, Singapura (unsplash.com/@huchenme)

Kalau ada negara bekas jajahan yang sekarang maju (contoh: Singapura), itu bukan karena penjajahnya lebih “oke”, tapi karena ada faktor lain: posisi strategis, pemimpin setelah merdeka, dan kebijakan internal. Riset dari Sunny John Kaniyathu dalam tulisannya "Evaluating the Impact of Colonialism on Economic Development: A Counterfactual Analysis" menunjukkan, justru kolonialisme sering bikin ekonomi timpang dan susah mandiri. Jadi, bukan soal “dijajah siapa”, tapi bagaimana kita bangun dan bangkit kembali setelah merdeka.

3. Warisan kolonialisme yang buruk jauh lebih banyak daripada yang baik

Sekelompok orang di benua Afrika berjalan membawa kontainer (unsplash.com/@ackley5)

Buku Walter Rodney How Europe Underdeveloped Africa (1972) menunjukkan jelas: kolonialisme bikin masyarakat lokal makin miskin, bukan berkembang. Sumber daya alam diambil, ekonomi lokal dihancurkan, rakyat dipaksa kerja rodi. Kalau ada sisa infrastruktur, itu kecil banget dibanding kerusakan sosial dan ekonomi yang ditinggalkan.

Di ranah kesehatan, kolonialisme meninggalkan trauma transgenerasional, ketidakadilan yang jadi struktur sosial dan berdampak hingga kesehatan psikologis dan fisik generasi berikutnya

4. Kolonialisme juga mengacak-ngacak budaya dan ilmu lokal

Pengantin dengan baju Bugis (unsplash.com/@thor_id)

Bukan cuma ekonomi, tapi ilmu pengetahuan dan budaya lokal juga ditekan. Sebelum kolonialisme masuk, masyarakat Bugis punya sistem gender yang jauh lebih kompleks daripada “laki-laki” dan “perempuan” doang. Dalam budaya Bugis, ada lima kategori gender:

  1. Oroané (laki-laki)

  2. Makunrai (perempuan)

  3. Calalai (lahir perempuan tapi berperan sosial sebagai laki-laki)

  4. Calabai (lahir laki-laki tapi berperan sosial sebagai perempuan)

  5. Bissu (pendeta androgini, dianggap sakral dan punya peran spiritual penting)

Sistem ini bikin masyarakat Bugis relatif lebih inklusif terhadap ekspresi gender yang di luar biner, bahkan memberi posisi terhormat (terutama bissu) dalam upacara adat dan ritual keagamaan.

Tapi begitu kolonialisme masuk, terutama lewat misi Kristenisasi dari Belanda, dibawa serta ideologi Barat yang hanya mengakui dua gender dan hanya menerima heteroseksualitas. Nilai-nilai kolonial ini kemudian dipropagandakan lewat sekolah misi, gereja, dan bahkan hukum kolonial. Dampaknya:

  • Norma gender non-biner dianggap menyimpangbissu, calalai, dan calabai dipinggirkan, bahkan dianggap “tidak bermoral”.

  • Ritual tradisional ditekan atau dilarang karena dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen yang dibawa kolonial.

  • Stigma baru muncul: ekspresi gender di luar biner yang sebelumnya diterima dalam masyarakat Bugis jadi dilihat sebagai dosa, penyakit, atau sesuatu yang harus “dihapuskan”.

Sejarawan dan antropolog seperti Sharyn Graham Davies (Gender Diversity in Indonesia, 2007) menunjukkan jelas bagaimana kolonialisme mempersempit spektrum gender dan seksualitas di Bugis, mengganti sistem lokal yang kaya dengan norma Barat yang kaku. Ini contoh konkret bahwa kolonialisme bukan cuma soal ekonomi, tapi juga mengacak-ngacak tatanan budaya dan identitas masyarakat lokal. Jadi kalau orang bilang kolonialisme bawa “kemajuan”, kasus Bugis ini bukti sebaliknya: yang terjadi justru penghapusan keragaman budaya dan pengerdilan identitas.

Masih ngeyel kalau budaya LGBTQ+ itu propaganda barat? Pikir lagi.

5. Kalau kolonialisme bagus, kenapa kita memperjuangkan kemerdekaan?

Peninggalan sejarah kolonial Belanda di Surabaya (unsplash.com/@d_ks11)

Ada segelintir akademisi yang bilang kolonialisme bawa manfaat kayak jalan, rel kereta, sekolah, bangunan megah, dll. Tapi mayoritas peneliti (misalnya dari LSE dan Washington Post) sepakat: manfaat yang didapat kecil banget dibanding kerusakan, ketidakadilan, dan kekerasan yang ditinggalkan. Logikanya gampang: kalau benar menjajah itu “menguntungkan”, leluhur kita gak bakal mati-matian berjuang buat merdeka.

Argumen “kalau kolonialisnya Y, kita pasti lebih maju” adalah narasi simplistik dan berbahaya. Kolonialisme (terlepas siapa pelakunya) adalah sistem eksploitasi yang mengubur potensi lokal, menciptakan ketergantungan, dan mewariskan struktur sosial yang timpang. Alih-alih mengapresiasi kolonialisme sebagai alat maju, kita perlu memahami bahwa kemajuan sejati lahir dari rekonstruksi institusional, penguatan lokal, dan pelepasan diri dari warisan kolonial.

Referensi:

  • Acemoglu, D., Johnson, S., & Robinson, J. A. (2001). The colonial origins of comparative development: An empirical investigation. American Economic Review, 91(5), 1369–1401. https://doi.org/10.1257/aer.91.5.1369

  • Davies, S. G. (2007). Gender diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and queer selves. Routledge.

  • Kaniyathu, S. J. (2008). Evaluating the impact of colonialism on economic development: A counterfactual analysis. Proceedings of the German Development Economics Conference, Zurich 2008. Verein für Socialpolitik. https://www.econstor.eu/bitstream/10419/39899/1/AEL_2008_20_kaniyathu.pdf

  • Rodney, W. (1972). How Europe underdeveloped Africa. Bogle-L’Ouverture Publications.

  • LSE Africa at LSE. (2017, October 17). There is no case for colonialism: Insights from the colonial economic history. Africa at LSE Blog. https://blogs.lse.ac.uk/africaatlse/2017/10/17/there-is-no-case-for-colonialism-insights-from-the-colonial-economic-history/

  • Washington Post. (2017, September 19). Colonialism left behind a long legacy. Most of it bad. The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2017/09/19/colonialism-left-behind-a-long-legacy-most-of-it-bad/

  • Quijano, A. (2000). Coloniality of power and Eurocentrism in Latin America. International Sociology, 15(2), 215–232. https://doi.org/10.1177/0268580900015002005

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team