Unjuk rasa yang dilakukan kelompok National American Woman Suffrage Association untuk gerakan hak pilih perempuan pada 3 Maret 1913 di Washington DC. (commons.wikimedia.org/Harris and Ewing)
Saat ini, demonstrasi jarang sekali menimbulkan kericuhan, meskipun bukan berarti tidak pernah, ya. Namun, demonstrasi itu sangat penting, terutama untuk menyampaikan pesan dan menyadarkan orang-orang yang berkuasa. Akan tetapi, 100 tahun yang lalu, unjuk rasa seringkali menimbulkan marabahaya, terutama jika unjuk rasa tersebut dilakukan untuk tujuan yang dianggap membahayakan kedaulatan negara.
Pada bulan Maret 1913, National Woman Suffrage Association (NWSA) mengadakan demonstrasi besar-besaran di Washington DC, sehari sebelum pelantikan Woodrow Wilson. Lebih dari 5.000 pengunjuk rasa hadir dan didominasi oleh kaum perempuan. Demonstrasi ini pun menjadi demonstrasi terbesar dalam sejarah Amerika. Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak menyukai aksi unjuk rasa ini.
Unjuk rasa dimulai dengan cukup kondusif, tetapi berubah menjadi ricuh. Puluhan ribu masyarakat yang menonton unjuk rasa turun ke jalan untuk mencemooh, masyarakat ini didominasi kaum laki-laki. Beberapa dari penonton ini mendorong dan menyerang para pengunjuk rasa.
Di sisi lain, masyarakat yang tidak setuju dengan unjuk rasa ini justru didukung oleh para polisi yang seharusnya menjamin keselamatan para perempuan. Seratus peserta harus dilarikan ke rumah sakit karena tindak kekerasan yang terjadi. Selain itu, beberapa masyarakat bahkan menghalangi ambulans yang ingin menjemput mereka yang membutuhkan perawatan medis.
“Dokter dan pengemudi benar-benar harus berjuang keras untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang terluka,” tulis seorang saksi di The Washington Post. Sisi positifnya, aksi kekerasan terhadap para pengunjuk rasa tersebut justru menarik perhatian nasional terhadap gerakan ini.