Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
bangunan menara di Pulau Robben
bangunan menara di Pulau Robben, Afrika Selatan (unsplash.com/Grant Durr)

Intinya sih...

  • Aapravasi Ghat: Kantor imigrasi di Mauritania yang menerima ratusan ribu pekerja migran dari India.

  • Asmara: Ibukota Eritrea dan situs warisan dunia dengan bangunan bergaya Italia dari periode kolonialisme.

  • Cidade Velha: Kota tua di Cape Verde dengan sisa-sisa bangunan era kolonialisme Portugis.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Benua Afrika merupakan salah satu kawasan yang tidak terlepas dari sejarah kolonialisme. Mengutip dari Britannica, sejak abad 15, bangsa eropa bahkan sudah mengincar Afrika untuk dijadikan wilayah jajahan. Sejak saat itu, kolonisasi Afrika terus berlangsung sampai di awal abad 20 hampir seluruh kawasan Afrika dikuasai oleh bangsa-bangsa eropa.

Selama era kolonialisme, bangsa-bangsa eropa dari Portugis, Inggris, Prancis, juga Belanda, kerap membangun pelabuhan, penjara, ataupun benteng pertahanan di wilayah jajahannya. Walaupun negara-negara Afrika tersebut telah meraih kemerdekaan, beberapa bangunan era kolonialisme tak jarang masih berdiri kokoh dan menjadi bagian dari situs warisan dunia UNESCO. Inilah tujuh situs warisan dunia di Afrika yang berkaitan erat dengan sejarah kolonialisme oleh bangsa eropa.

1. Aapravasi Ghat

Aapravasi Ghat (commons.wikimedia.org/Suyash Dwivedi)

Memasuki tahun 1834, Inggris secara resmi melarang perbudakan di seluruh wilayah jajahannya. Sebagai gantinya, Inggris mengganti sistem perbudakan dengan kerja terikat hutang atau indentured labor. Dalam skema kerja ini, pekerja baru mendapat upah dan dapat kembali ke negara asalnya jika mereka mampu menyelesaikan pekerjaan hingga masa kontrak berakhir.

Aapravasi Ghat merupakan kantor imigrasi yang secara khusus menangani segala urusan terkait para pekerja migran. Berlokasi di Mauritania, Aapravasi Ghat mulai berfungsi sejak 1849 dan menerima ratusan ribu imigran. Mayoritas para pekerja migran ini didatangkan dari India dan nantinya akan diberangkatkan ke koloni-koloni Inggris lainnya di kawasan Afrika, Pasifik, hingga Karibia.

Berawal dari bangunan bekas milik Prancis, Inggris melengkapi Aapravasi Ghat dengan toilet, jalur rel kereta api, dapur umum, juga rumah sakit. Aapravasi Ghat terus menerima kedatangan pekerja migran hingga program ini berakhir pada pertengahan 1920an.

2. Asmara

bangunan Fiat Tagliero di Asmara (commons.wikimedia.org/Clay Gilliland)

Selain berstatus ibukota Eritrea, Asmara juga merupakan salah satu situs warisan dunia yang ada di negara tersebut. Penamaan asmara diambil dari kata asmera yang dalam bahasa Tigrinya memiliki makna persatuan.

Terletak di ketinggian 2300 mdpl, bangsa Italia menaruh perhatian lebih pada kota ini sejak tahun 1889. Meskipun awalnya dijadikan pangkalan militer, pemerintahan kolonial Italia menyadari besarnya potensi Asmara sebagai kawasan industri strategis. Karena itu, pembangunan di Asmara berkembang pesat selama periode kolonialisme Italia.

Selama tahun 1893-1941, Asmara mulai dipenuhi dengan bangunan-bangunan penting layaknya sebuah kota besar yang meliputi kantor pemerintahan, pemukiman, kompleks pertokoan, bank, rumah-rumah ibadah, juga fasilitas hiburan seperti bioskop dan hotel. Kebanyakan bangunan ini memiliki desain maupun penamaan bergaya Italia. Meski kerap dianggap sebagai konsep kota modern yang menarik, Italia memutuskan untuk menghentikan pembangunan fasilitas industri di Asmara ketika Perang Dunia II meletus.

3. Cidade Velha

Pelourinho, monumen penting di Cidade Velha (commons.wikimedia.org/Los viajeros 77)

Cape Verde adalah negara kepulauan di Afrika bagian barat. Sejak akhir abad 18, negara ini beribukota di Praia yang terletak di Pulau Santiago. Sebelum ibukota dipindahkan ke Praia, Cidade Velha memiliki peran penting dalam sejarah kolonialisme Portugis di Cape Verde.

Cidade Velha, yang bermakna kota tua dalam bahasa Portugis, merupakan salah satu kota yang juga terdapat di Pulau Santiago. Setelah ibukota dipindah ke Praia, Portugis mengganti nama kota ini dari Ribeira Grande menjadi Cidade Velha. Kota ini berawal dari pemukiman kecil di abad 15 yang dibangun seorang penjelajah Genoa yang bekerja untuk Kerajaan Portugis yaitu António da Noli.

Pada abad 16 hingga 17, Cidade Velha menjadi jalur perdagangan penting yang menghubungkan Afrika dengan Amerika Selatan hingga Kepulauan Karibia. Sisa-sisa bangunan era kolonialisme Portugis masih dapat terlihat di kota ini seperti benteng pertahanan, gereja katholik roma, juga lapangan kota dengan tiang pillory.

4. Fort Jesus

Fort Jesus (commons.wikimedia.org/Alex Wafula)

Fort Jesus merupakan benteng milik kolonial Portugis yang dibangun pada 1593-1596. Benteng yang terletak di Mombasa, Kenya ini menggunakan desain karya arsitek Italia bernama Giovanni Battista Cairati. Dengan bentuk persegi yang simetris di keempat sisinya, Fort Jesus dikenal sebagai salah satu benteng militer dengan arsitektur bergaya renaissans.

Fort Jesus adalah satu-satunya benteng milik bangsa Portugis di kawasan pesisir Swahili yang meliputi wilayah Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Komoro. Benteng ini menjadi saksi keberhasilan pertama bangsa eropa dalam mengendalikan jalur perdagangan di Samudra Hindia. Karena letaknya yang strategis, Fort Jesus beberapa kali diperebutkan oleh banyak pihak dari mulai bangsa Portugis, Arab, Afrika, sampai Inggris.

5. Mazagan

Mazagan (commons.wikimedia.org/Alamrani.a)

Mazagan adalah kota berbenteng yang dibangun oleh penjelajah Portugis pada awal abad 16. Konon, para penjelajah Portugis menemukan kawasan ini dalam perjalanan menuju India.

Di balik benteng Mazagan, kita dapat menjumpai bangunan bergaya Gothic yang dibangun oleh bangsa portugis seperti Church of the Assumption. Ketika bangsa portugis meninggalkan Maroko pada 1769, Mazagan sempat terbengkalai selama puluhan tahun sebelum masyarakat Maroko mulai melakukan pembaruan kota tersebut dan mengubah namanya menjadi El Jadida. Kini, El Jadida dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit di Maroko.

6. Pulau Gorée

Pulau Gorée (commons.wikimedia.org/HaguardDuNord)

Pulau Gorée adalah pulau kecil seluas 36 Ha yang menjadi bagian dari wilayah Senegal. Sebelum bangsa portugis tiba di pulau tersebut pada pertengahan abad 15, Pulau Gorée sudah dihuni oleh masyarakat suku Lebu. Pasca kedatangan Portugis, kelompok masyarakat suku Lebu terusir dari wilayahnya dan dari sinilah dimulai era kelam perbudakan bangsa afrika.

Memasuki tahun 1536, Pulau Gorée merupakan salah satu tempat penampungan orang-orang afrika sebelum mereka dikirim ke Amerika untuk dijadikan budak. Kebanyakan dari mereka akan dipekerjakan di perkebunan gula dan tembakau yang saat itu tengah menjadi komoditas utama di kawasan Amerika Utara dan Karibia.

Pulau Gorée berada dalam kuasa Portugis hingga 1817 sebelum beralih kepemilikan ke Prancis. Meski sudah berpindah dari Portugis ke Prancis, perdagangan budak masih berlanjut sampai pemerintahan kolonial Prancis secara resmi menghentikan praktik tersebut pada 1848. Kini dikenal sebagai destinasi wisata sejarah, Pulau Gorée menyimpan bangunan penting yang berkaitan dengan sejarah perbudakan yaitu Maison des Esclaves dan Fort d'Estrées.

7. Pulau Robben

Pulau Robben (commons.wikimedia.org/South African Tourism)

Pulau Robben merupakan pulau kecil milik Afrika Selatan yang terletak sejauh 8 kilometer dari ujung barat daratan utama. Penamaan pulau ini diambil dari bahasa Belanda yang bermakna anjing laut. Konon, banyak kawanan anjing laut yang ditemukan di wilayah perairan di sekitar Pulau Robben.

Pada awalnya, Pulau Robben kerap dijadikan pulau transit untuk kapal-kapal yang melintas. Ketika era kolonialisme, Belanda dan Inggris secara berturut-turut menggunakan Pulau Robben sebagai tempat pemukiman terisolir bagi para tahanan. Pulau Robben juga pernah menjadi tempat isolasi bagi penderita kusta dan orang-orang yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan. Selama masa Perang Dunia II, keamanan di Pulau Robben semakin diperketat dengan berdirinya benteng yang mengelilingi pulau tersebut.

Pada tahun 1960-1991, Pulau Robben digunakan sebagai penjara keamanan tingkat tinggi oleh pemerintahan rezim apartheid Afrika Selatan. Nelson Mandela merupakan salah satu mantan narapidana di Pulau Robben. Hingga tahun 1996, Pulau Robben masih berfungsi sebagai penjara sebelum beralih fungsi menjadi museum pada 1997.

Ketujuh tempat ini hanyalah beberapa situs peninggalan era kolonialisme di Afrika yang masih terjaga dengan baik. Selain menjadi tujuan wisata, situs warisan dunia UNESCO ini juga sekaligus menjadi saksi sejarah era kolonialisme di Benua Afrika yang sudah berlangsung sejak abad 15 hingga abad 20.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team