ilustrasi berdoa dan memohon (unsplash.com/Gracious Adebayo)
Di kala kedukaan, tak jarang kita merasakan kesedihan yang amat sangat hingga kita tak sadar "tawar-menawar" dengan takdir. Selain mengharapkan mukjizat (meski tahu terkadang ini tidak mungkin), hal ini dilakukan agar kesedihan yang kita rasakan bisa berkurang. Tak jarang, kita mengatakan hal-hal seperti,
"Tuhan, jika Engkau kembalikan dia, aku janji akan menyayanginya seumur hidup!"
"Jika Engkau sembuhkan penyakit terminalnya, aku janji akan jadi orang baik."
Dan, memang, penawaran umumnya ditujukan kepada Sang Pencipta yang memiliki kendali atas segala hal. Toh, kita hanya manusia biasa dan kita tak bisa mengubah apa pun sehingga bargaining adalah cermin dari ketidakmampuan manusia atas takdir. Dengan tawar-menawar ini, kita merasa setidaknya memiliki kuasa atas satu hal.
Bersama dengan tawaran tersebut, kita juga sering kali kilas balik ke berbagai penyesalan, bagaimana buruknya perlakuan atau segala kesalahan yang kita perbuat pada orang yang kita sayangi. Atau, mungkin kita mengingat kata-kata yang seharusnya tidak kita ucapkan (terutama sebelum musibah terjadi), dan memainkan skenario dalam pikiran,
"Seandainya aku tidak mengatakannya/melakukannya..."