TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

4 Langkah Jepang Menghadapi Gempa Bumi, Jadi Referensi untuk Indonesia

Butuh puluhan tahun untuk menciptakan bangunan tahan gempa

gempa berkekuatan 7,6 magnitudo yang terjadi pada hari Senin di Prefektur Ishikawa, Jepang (twitter.com/@NHKWORLD_News)

Beberapa hari lalu, Jepang dilanda gempa berkekuatan magnitudo 7,6. Hingga saat ini, evakuasi masih terus dilakukan pihak berwenang. Pihak berwenang Jepang menyebutkan, jumlah korban jiwa mencapai 126 orang dan lebih dari 200 orang masih belum ditemukan (per tanggal 6 Januari 2024).

Seorang ahli seismologi menilai, intensitas dan lokasi gempa bumi bisa menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar jika negara tersebut kurang siap. Ia memuji peraturan bangunan di Jepang yang menurutnya mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dari seharusnya.

Jepang adalah salah satu negara yang rawan terhadap bencana alam. Letaknya yang berada di empat lempeng tektonik membuat Jepang sering diguncang gempa bumi. Mengingat risiko gempa bumi yang tinggi, pemerintah Jepang mencari cara untuk meminimalkan dampak dari gempa. Berikut beberapa cara yang dilakukan Jepang dalam menghadapi gempa bumi.

1. Bangunan tahan gempa

ilustrasi bangunan Jepang (unsplash.com/Yu Kato)

Menurut U.S. Geological Survey, banyak kerusakan dan kematian akibat gempa bumi terjadi karena bangunan dibangun dengan buruk di wilayah rawan gempa dan padat penduduk. Hal senada juga dijelaskan Occupational Safety and Health Administration. Pergerakan tanah selama gempa relatif jarang menjadi penyebab langsung cedera atau kematian. Sebagian besar cedera akibat gempa terjadi karena tertimpa dinding runtuh, kaca yang beterbangan, atau benda yang jatuh.

Dengan letak geografisnya yang rawan gempa, bangunan di Jepang dirancang agar tahan terhadap gempa besar. Dilansir National Geographic, peraturan seismik di Jepang pertama kali diperkenalkan setelah gempa bumi dengan magnitudo 7,9 terjadi pada tahun 1923. Gempa itu memakan lebih dari 140 ribu korban jiwa dan merusak ratusan ribu bangunan.

Peraturan seismik di Jepang awalnya fokus pada penguatan struktur baru yang sedang dibangun di kawasan perkotaan. Mereka juga menambahkan pengawasan terhadap konstruksi bangunan kayu dan beton.

Selanjutnya, dilakukan sejumlah perubahan signifikan, terutama melalui Building Standard Law pada 1950 dan New Earthquake Resistant Building Standards Amendment pada 1981. Undang-undang 1950 menetapkan standar bangunan yang mampu menahan gempa hingga magnitudo 7 tanpa masalah serius.

Ada beberapa cara agar bangunan yang dibangun sesuai standar di Jepang, disesuaikan dengan struktur bangunan, misalnya gedung pencakar langit atau rumah keluarga, anggaran yang tersedia, dan pertimbangan lainnya. Salah satu metode yang paling populer adalah dengan memasang bantalan, seperti karet di dasar pondasi bangunan sehingga dapat meredam guncangan.

2. Sistem peringatan dini gempa bumi

ilustrasi gempa bumi (unsplash.com/Jens Aber)

U.S. Geological Survey menyebutkan bahwa Jepang saat ini memiliki sistem peringatan dini paling canggih di dunia. Menurut laman Badan Meteorologi Jepang, sistem peringatan ini awalnya dikembangkan untuk digunakan dalam memperlambat dan menghentikan kereta api berkecepatan tinggi sebelum terjadi gempa.

Keberhasilan program tersebut ditambah dengan dampak dahsyat gempa bumi Kobe tahun 1995 membuat Jepang membangun sistem peringatan dini nasional. Pada 1 Oktober 2007, Badan Meteorologi Jepang resmi meluncurkan peringatan dini gempa bumi yang disiarkan melalui televisi dan radio.

Sistem tersebut akan memberi peringatan segera saat gempa bumi mulai terjadi, sehingga memberikan waktu beberapa detik untuk berlindung. Sistem peringatan dini gempa bumi memberikan pengumuman awal tentang perkiraan intensitas gempa dan perkiraan waktu datangnya gempa. Selain disiarkan di televisi dan radio, peringatan dini gempa bumi juga terhubung ke ponsel.

Baca Juga: 4 Faktor Penyebab Terjadinya Gelombang Tsunami, Gak Cuma Gempa Bumi

3. Edukasi risiko bencana sejak dini

Siswa di Kanawaho Kichi Gakuen, Prefektur Saitama berlindung di bawah meja saat latihan bencana (worldbank.org/Kyodo News Images)

Sekitar 20 persen gempa bumi di atas magnitudo 6 di dunia terjadi di Jepang. Belajar dari pengalaman bencana di masa lalu, pemerintah Jepang mengembangkan kesadaran risiko di sekolah sebagai strategi untuk mengurangi risiko bencana. Tujuan utamanya adalah agar siswa dapat aktif berkontribusi dalam mengurangi risiko bencana di komunitas mereka.

Menurut laman Organisation for Economic Co-operation and Development, kesadaran risiko ini dikembangkan melalui keterampilan praktis dan pendidikan bencana di sekolah. Kementerian Pendidikan juga menyediakan pedoman pendidikan khusus tentang hal ini. Sejak tahun 2002, mata pelajaran tentang pengurangan risiko bencana sudah menjadi mata pelajaran wajib dalam kurikulum.

Pentingnya edukasi risiko bencana telah terbukti dalam banyak kesempatan, salah satunya sekolah Kamaishi ketika terjadi gempa bumi dan tsunami 2011. Meski menimbulkan dampak yang besar di wilayah tersebut, seluruh siswa SD dan SMP yang berjumlah hampir 3000 orang berhasil ke tempat yang lebih tinggi dan tidak ada korban jiwa di antara mereka. Kisah ini dikenal sebagai Miracle of Kamaishi.

Verified Writer

Dewi Purwati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya