Hutan dataran rendah di Gunung Leuser, Aceh. (commons.wikimedia.org/gbohne)
Dari awal, disebutkan jelas kalau penyebab membesar dan meluasnya banjir di tiga provinsi di Pulau Sumatra itu disebabkan lahan yang gundul. Parahnya, penggundulan hutan itu sering terjadi secara ilegal atau sebenarnya memperoleh izin, tapi dilakukan secara serampangan. Kalau sudah demikian, sudah jadi tugas kita bersama untuk mengawasi masalah tersebut dari berbagai lini dan lewat berbagai cara.
Bagi masyarakat setempat, membantu melaporkan tindakan pembalakan liar kepada pihak berwenang jadi salah satu langkah yang bisa ditempuh. Selain itu, ikut serta dalam kegiatan menanam kembali lahan yang sudah gundul dengan berbagai tanaman juga dapat diikuti masyarakat, komunitas atau organisasi tertentu, pihak swasta, sampai pemerintah setempat. Tak hanya hutan, pelindungan ini juga termasuk pada ekosistem yang ada di dalamnya, semisal turut menjaga keberadaan hewan-hewan yang hidup di dalam hutan agar tidak berkonflik dengan masyarakat.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, ada banyak pekerjaan rumah yang bisa dilakukan. Pemerintah perlu memperkuat peran polisi hutan agar mampu memberikan penindakan tegas bagi para pembalak hutan liar, membuat area konservasi alam yang berimbang tanpa bisa disentuh orang lain untuk membuka lahan, sampai mengatur regulasi dan penegakan hukum tentang restorasi hutan beserta perlindungannya. Poin yang satu ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan lahan sawit dan tambang di Pulau Sumatra yang kian mengkhawatirkan.
Dilansir MapBiomas, pada 1990 Pulau Sumatra masih ditutupi hutan dalam berbagai jenis seluas 17.934.735 hektare. Namun, angka itu menyusut drastis pada 2024 kemarin yang hanya menyisakan 12.685.507 hektare. Sementara itu, peningkatan tajam justru terlihat pada lahan sawit dari yang hanya sekitar 1.079.077 hektare pada 1990 menjadi 10.311.941 hektare pada 2024. Ini menunjukkan adanya alih fungsi lahan yang sangat besar menjadi perkebunan sawit. Area hutan di sepanjang Pulau Sumatra telah dikorbankan.
Dari periode yang sama, ada peningkatan konsesi tambang sampai lima kali lipat di Sumatra. Pada 1990, hanya ada sekitar 32.037 hektare lahan tambang di sana, tapi jumlahnya naik jadi 145.892 hektare pada 2024. Jadi, jangan heran kalau ada banyak citra satelit yang menunjukkan lahan-lahan botak di beberapa titik Pulau Sumatra akibat aktivitas pembukaan lahan tersebut.