Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret F1 GP Monaco (unsplash.com/@duometre_)
potret F1 GP Monaco (unsplash.com/@duometre_)

Jelang Formula 1 GP Monaco yang berlangsung pada 23–25 Mei 2025, perbincangan mengenai masa depan sirkuit-sirkuit klasik kembali mencuat. Setelah GP Imola pada Minggu (18/5/2025) lalu mengadakan balapan terakhirnya, Spa-Francorchamps dan Zandvoort juga terancam terdepak dari kalender resmi. Ini memunculkan dilema antara warisan sejarah dan kebutuhan modern F1.

Di satu sisi, sirkuit historis menyimpan nilai emosional yang mendalam bagi pembalap dan penggemar. Namun, di sisi lain, kurangnya aksi di lintasan dan dorongan komersial membuat keberadaan mereka dipertanyakan. Dalam konteks perkembangan bisnis dan ekspansi global, apakah sirkuit-sirkuit ini masih layak dipertahankan?

1. Sirkuit klasik membawa nilai kepuasan dan nostalgia tersendiri bagi pembalap dan penggemar

Selain membawa nilai sejarah, sirkuit-sirkuit klasik seperti Monaco, Imola, Spa-Francorchamps, dan Silverstone juga menawarkan tantangan teknis. Mengutip Crash, Oscar Piastri, pemuncak klasemen pembalap sementara musim 2025, menyebut Imola sebagai salah satu trek favoritnya karena karakter old-school yang khas. Ia mengingatkan, meskipun tidak selalu menghasilkan balapan paling seru, pengalaman membalap di trek klasik menawarkan kepuasan yang tidak ditemukan di tempat lain.

Pembalap F1 asal Monaco, Charles Leclerc, turut menanggapi isu ini. “Bagiku, Monaco adalah balapan paling ikonik musim ini. Jelas, aku orang Monaco, jadi aku tidak objektif, tetapi balapan inilah yang membuatku bermimpi menjadi pembalap Formula 1. Usaha dalam sesi kualifikasi pada Sabtu sungguh luar biasa. Tak ada sirkuit lain yang mendekati perasaan yang kami rasakan pada kualifikasi, harus benar-benar presisi dan berani. Itu adalah sesuatu yang sangat aku nikmati sebagai pembalap," ungkapnya dilansir The New York Times.

Tak hanya dari sisi pembalap, sirkuit historis juga memiliki tempat khusus di hati para penggemar. Hasil survei global F1 yang dihimpun Motorsport pada 2021 menunjukkan, Spa, Silverstone, Monza, dan Monaco masuk daftar sirkuit untouchable bagi fans. Identitas dan nostalgia yang melekat kuat kepada sirkuit-sirkuit ini menjadi alasan utama mengapa mereka layak untuk terus menjadi bagian dari kalender.

2. Sirkuit klasik seperti Monaco menemui tantangan dengan lebar dan bobot mobil F1 saat ini

Meski menyimpan warisan panjang, sejumlah sirkuit klasik menghadapi tantangan serius dari sisi kualitas balapan. Salah satu kendala utama adalah ukuran mobil Formula 1 saat ini yang jauh lebih besar dan berat dibandingkan era sebelumnya. Hal ini menyulitkan pembalap untuk menyalip, khususnya di lintasan sempit seperti Monaco.

Pada GP Monaco 2024, hanya terjadi 22 aksi salip-menyalip sepanjang balapan. Sebagai perbandingan, pada seri Formula E yang digelar di tempat sama, terjadi hampir 200 aksi menyalip berkat ukuran mobil yang lebih kecil dan lebih gesit. Monaco pun lebih dikenal karena sesi kualifikasinya yang mendebarkan, sementara balapannya kerap menjadi prosesi tanpa banyak drama.

Selain itu, perubahan teknis dalam desain mobil F1 era ground effect juga berdampak kepada kualitas balapan. Ground effect mendorong pengaturan suspensi yang kaku, sehingga menyulitkan pembalap untuk mengambil variasi jalur balap ideal, apalagi di trek sempit. Di banyak sirkuit jalanan seperti Baku atau Miami, tikungan 90 derajat dan ruang terbatas membuat potensi aksi di lintasan semakin berkurang. Kombinasi antara mobil besar, lintasan sempit, dan minimnya zona drag reduction system (DRS) memperparah sulitnya aksi overtake.

3. Dana besar menjadi alasan utama balapan yang cenderung membosankan bisa bertahan

Sudah menjadi rahasia umum jika sejumlah trek yang dianggap membosankan masih terus masuk kalender. Jawabannya sederhana: uang. Biaya penyelanggaraan untuk mengadakan satu balapan Formula 1 bisa mencapai 60 juta dolar AS atau setara Rp983 miliar lebih per tahun. Angka ini tentu hanya mampu dibayar negara atau korporasi besar.

Sirkuit-sirkuit dengan finansial kuat seperti Jeddah (Arab Saudi) dan tiga seri balapan di Amerika Serikat sanggup membayar mahal agar tetap eksis. Meski kerap menuai kritik karena kurangnya kualitas balapan, tempat-tempat ini tetap bertahan karena menawarkan imbal balik besar dalam bentuk pemasukan dan eksposur global. Sebaliknya, sirkuit historis seperti Hockenheim (Jerman) dan Sepang (Malaysia) justru terdepak karena tidak sanggup bersaing secara finansial, padahal kerap menghadirkan tontonan seru.

Lebih jauh lagi, aspek politik turut memengaruhi peta sirkuit F1. Negara-negara seperti Arab Saudi menggunakan F1 sebagai alat diplomasi dan pencitraan global, menjadikan olahraga ini lebih dari sekadar ajang balap. Kontrak jangka panjang yang disokong negara dan sponsor besar seperti Aramco membuat posisi mereka di kalender nyaris tak tergoyahkan.

4. F1 berencana melakukan rotasi kalender demi menjaga tuntutan ekspansi dan nilai historis

Menyadari besarnya tekanan dari dua arah antara mempertahankan warisan dan memenuhi tuntutan ekspansi, Formula 1 mulai menerapkan sistem kalender rotasi. Spa-Francorchamps, misalnya, telah menyetujui kesepakatan untuk absen dari kalender pada 2028 dan 2030 dalam skema rotasi terbatas. Hal serupa bisa terjadi kepada Imola dan Barcelona dalam waktu dekat.

CEO F1, Stefano Domenicali, menyebut rotasi ini sebagai jalan tengah untuk menjaga keberagaman tanpa melampaui batas maksimal 24 balapan per musim. “Kami ingin mempertahankan dua atau tiga slot rotasi saja,” ujarnya dikutip The Athletic, sambil menekankan sebagian besar kontrak balapan dalam jangka panjang yang tidak mudah digeser.

Meski demikian, apakah sirkuit klasik harus berubah demi bertahan? Beberapa sirkuit seperti Monaco mulai berinvestasi besar dalam infrastruktur modern seperti pit building dan fasilitas VIP 360 derajat. Namun, sebagian lainnya tetap mengandalkan pesona historis sebagai nilai jual utama. Di tengah tantangan ini, F1 harus menentukan apakah tradisi cukup kuat untuk menjadi alasan bertahan atau harus dibarengi dengan inovasi nyata agar tetap relevan pada masa mendatang.

Dilema antara mempertahankan warisan dan menjawab tuntutan modern membuat masa depan sirkuit historis tetap abu-abu. Namun satu hal pasti, keberadaan mereka masih menjadi fondasi emosional yang tidak bisa digantikan hanya oleh angka dan pendapatan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team