Owi/Butet Buka Suara soal Nasib Ganda Campuran Indonesia, Masih Optimis?

Jakarta, IDN Times – Sektor ganda campuran pada masanya sempat menjadi andalan skuad bulu tangkis Indonesia. Mulai dari turnamen BWF series, hingga ke ajang multi-event seperti SEA Games dan ASIAN Games, puncaknya pada gelaran Olimpiade, ganda campuran selalu jadi salah satu andalan skuad garuda untuk bawa pulang gelar juara.
Namun, beberapa waktu belakangan sektor tulang punggung bulu tangkis Indonesia itu tampak melemah. Terbiasa menjadi andalan, gelar juara dari ganda campuran seolah sulit untuk diharapkan.
Gelar juara All England 2020 dari pasangan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti jadi gelar bergengsi terakhir ganda campuran Indonesia setelah medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang dipersembahkan pasangan legendaris, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.
Perombakan juga terjadi di pelatnas Cipayung. Dua pasangan Indonesia dengan ranking ganda campuran tertinggi dunia dikeluarkan dari daftar penghuni Pelatnas. Praveen/Melati kala itu masih berada di lima besar dan pasangan Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja masih bertengger di sepuluh besar.
Ditinggal dua seniornya, pasangan Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari mau tak mau harus mengemban tugas jadi unggulan ganda campuran pelatnas Indonesia. Bicara soal prestasi, hingga kini keduanya belum mampu menembus ranking elite dunia.
IDN Times berkesempatan secara terpisah berbincang mengenai kondisi ganda campuran Indonesia dengan ganda campuran legendaris Indonesia, Owi/Butet, begitu Tontowi/Liliyana akrab disapa.
1. Tak ada pasangan senior di ganda campuran Pelatnas saat ini. Sebenarnya sepenting apa sosok senior di pelatnas?
Tontowi Ahmad:
Semua sektor itu pasti di Pelatnas punya andalan. Nomor satu, nomor dua, nomor tiga nomor empat. Perbandingannya pemain Indonesia punya andalan satu sampai empat, pemain China juga, pemain Thailand juga, semua negara seperti itu.
Pada waktu itu saya sama ci Butet yang fight sama nomor satunya China, nomor satunya Denmark, sama semuanya. Rata (sama-sama unggulan pertama vs unggulan pertama). Setelah nomor satu Indonesia lengser, China juga lengser, Malaysia juga lengser, semua seperti itu, yang main siapa? Kan harusnya nomor dua yang jadi nomor satu. Begitupun di negara lainnya.
Pada waktu itu Jordan/Melati. Kalau Jordan/Melati melawan Zheng Siwei, Yuta Watanabe, Dechapol Puavaranukroh, itu masih bisa ngimbangin. Tapi yang terjadi adalah nomor dua sama nomor tiga-nya lengser, nggak ada.
Otomatis nomor empat negara kita harus menjadi nomor satu. Sedangkan negara lain masih di nomor satu andalannya.
Bukan berarti nggak punya kualitas, menurut kacamata saya. Kita fight dengan nomor satu negara lain dengan pemain yang sekarang harusnya masih menjadi nomor tiga. Jadi susah berkembang.
Bukan berarti kualitas pemain kita, adik-adik kita itu jelek, bukan. Hanya saja memang mereka di nomor tiga tiba-tiba menjadi nomor satu. Harusnya bisa mengejar ketertinggalan.