Perubahan gaya siaran F1 tidak bisa terlepas dari perubahan wajah para penontonnya. Berdasarkan laporan Comscore, 40 persen dari total penggemar F1 kini adalah perempuan, dan 3 dari 4 penggemar baru berasal dari kalangan generasi Z. F1 yang dulunya identik dengan dunia laki-laki kini menjadi ruang yang jauh lebih inklusif, penuh warna, dan terhubung dengan gaya hidup modern.
Comscore juga mencatat, audiens perempuan meningkat pesat di berbagai platform digital. Di saluran YouTube McLaren, misalnya, porsi penonton perempuan melonjak dari 28,5 persen menjadi 50,4 persen dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini menandakan adanya perubahan cara konsumsi F1 yang kini dinikmati sebagai gaya hidup, bukan sekadar olahraga.
Selain menyukai keseruan di lintasan, mereka juga mengikuti mode, personalitas pembalap, serta nuansa glamor yang mengelilinginya. Fakta ini menjelaskan mengapa kamera F1 kini kerap berpindah dari lintasan ke paddock, dari pit wall ke tribun VIP. Bagi generasi penonton baru, daya tarik F1 tidak semata ditentukan oleh siapa yang menang, tetapi juga narasi dan tampilan yang mengiringinya.
Laporan Marie Claire UK mempertegas tren tersebut. 2025 disebut sebagai tahun paling transformatif bagi F1, dengan keberadaan fans perempuan yang aktif di media sosial hingga memengaruhi arah sponsorship. Kolaborasi antara Aston Martin dan merek kecantikan ELEMIS, keterlibatan F1 Academy yang dipimpin Susie Wolff, serta Laura Villars yang menjadi kandidat perempuan pertama Presiden Federation Internationale de l'Automobile (FIA), menandakan masuknya elemen baru yang lebih dekat dengan dunia fesyen dan kecantikan.
Kritik Carlos Sainz mungkin valid bagi puris motorsport yang merindukan fokus penuh kepada strategi dan teknik balapan. Namun, dari perspektif bisnis dan media, sorotan terhadap pasangan pembalap atau selebritas bukanlah kesalahan seperti kata Sainz, melainkan strategi sadar untuk mempertahankan engagement dari demografi baru ini. Sangat dimengerti jika ia ingin mempertahankan kemurnian kompetisi. Di sisi lain, ia harus memenuhi tuntutan audiens yang tumbuh dari dunia digital yang menilai tontonan bukan hanya dari hasil akhir, tetapi juga dari seberapa menarik momen itu dibagikan ulang.
Mungkin Carlos Sainz benar. Kamera F1 sudah kebablasan. Akan tetapi, pada era ketika popularitas ditentukan oleh engagement rate, siapa yang bisa menyalahkan mereka? Di dunia yang dikendalikan algoritma, bahkan balapan pun kini butuh wajah manusia.