Jakarta, IDN Times - Perang Tiongkok dan Jepang yang berkecamuk di awal abad 20, seakan menjadi rezeki buat Hindia Belanda. Karena perang tersebut, Jepang gagal mentas di Piala Dunia 1938 dan akhirnya jatah undangan untuk Asia, diberikan oleh Hindia Belanda setahun sebelum event.
Kala itu, Hindia Belanda menjadi tiga dari negara di luar Eropa yang tampil di Piala Dunia. Ini menjadi cikal bakal dari Indonesia, sesuai pengakuan FIFA, sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia. Tapi, perjalanan tim Indonesia di Piala Dunia diwarnai dengan sejumlah kontroversi.
Dimulai dari bagaimana undangan masuk melalui Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU), tidak ke Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia alias PSSI.
Ketika PSSI, yang saat itu dipimpin Ir Soeratin, tahu tentang undangan tersebut, NIVU didatangi. Negosiasi terjadi hingga akhirnya terbentuk Gentlement's Agreement.
Isinya cukup sederhana, bahwa siapa pun yang menang dalam duel uji coba NIVU versus PSSI, pemenangnya berhak berlaga di Piala Dunia 1938.
Sebagai catatan, di masa kolonial, PSSI memang lebih dulu berdiri ketimbang NIVU. Namun, kegiatan NIVU yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Apalagi, FIFA hanya mengakui NIVU sebagai organisasi yang legal.
Sehingga, apapun yang dilakukan PSSI, sebenarnya dengan mudah bisa dilanggar oleh NIVU. Itu terjadi dalam insiden di Gentlement's Agreement yang dibuat.
Diawali dari uji coba kedua tim melawan Nan Hwa (raksasa Tiongkok di era tersebut). NIVU beruji coba lebih dulu melawan Nan Hwa. Namun, kala itu mereka dibantai dengan skor 0-4.
Sementara, tim bentukan PSSI secara mengejutkan mampu menahan imbang Nan Hwa, 2-2, seperti laporan dalam surat kabar sezaman, Sin Tit Po. Pertandingan ini digelar pada 8 Agustus 1937.
Bahkan, dalam laporan Sin Tit Po, tim PSSI sejatinya hampir saja menang. Namun, pada akhirnya harus menerima hasil imbang saat pemain Nan Hwa mencetak gol penyeimbang.
Fakta ini bikin gempar NIVU. Mereka mulai khawatir bakal kalah di laga yang disepakati dalam Gentlement's Agreement.
Hingga akhirnya, NIVU benar-benar bertindak sendirian, melanggar kesepakatan yang dibuat. Mereka sudah menyatakan kepada FIFA untuk ikut serta dalam Piala Dunia 1938.
PSSI marah dengan apa yang terjadi. Protes dilayangkan, tapi tak bisa berbuat apa-apa, karena FIFA memang mengakui keberadaan NIVU.
Pada akhirnya, NIVU harus mencari pemain untuk memperkuat timnya. Sejumlah pribumi direkrut demi memperkuat tim bentukan NIVU.
Kebijakan ini terpaksa diambil sang pelatih, Cristoffel van Mastenbroek, karena memang kualitas dari pemain berdarah Eropa masih kalah jauh dari pribumi.
Meski posturnya lebih mini, pemain pribumi kala itu punya sejumlah kelebihan. Kecepatan, kekuatan, hingga kecerdasan dalam bermain bola bawah.
Sejumlah nama, yang akhirnya menjadi legenda, pun direkrut oleh Mastenbroek seperti Tan Mo Heng, Sutan Anwar, Isaak Pattiwael, Achmad Nawir, Frans Meeng, dan Tan Hong Djien. Tak cuma angkut pemain pribumi, Mastenbroek bahkan menunjuk Achmad Nawir sebagai kapten tim.
Siapa sebenarnya Achmad Nawir?