Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi stadion sepak bola
ilustrasi stadion sepak bola (IDN Times/Mardya Shakti)

Intinya sih...

  • Gaya main Juventus era Thiago Motta dan Igor Tudor berbeda secara mencolok

  • Peran Kenan Yildiz lebih bebas di bawah Igor Tudor, meningkatkan kinerjanya

  • Igor Tudor memberikan hasil yang lebih meyakinkan dan positif dibanding Thiago Motta

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Juventus memulai musim baru berbekal antusiasme tinggi. Igor Tudor, yang sebelumnya diragukan kapabilitasnya, mampu memberikan warna baru dalam permainan Si Nyonya Tua. Poin penuh dari tiga laga awal Serie A Italia 2025/2026 membuat Juve bisa kembali bermimpi bersaing di trek juara. Apalagi, mereka juga baru saja menumbangkan sang rival bebuyutan, Inter Milan, dengan skor 4-3 lewat performa spektakuler. 

Thiago Motta, yang sebelumnya memimpin Juve mengawali Serie A 2024/2025, memang sempat memberi harapan serupa. Namun, inkonsistensi hasil dan ketegangan internal membuatnya akhirnya digantikan di tengah jalan. Lantas, memangnya apa perbedaan mencolok dari tiga laga awal Juventus pada musim baru Serie A era Thiago Motta dan Igor Tudor sehingga Juventini mulai berani bermimpi juara lagi?

1. Beda gaya main Juventus era Thiago Motta dan Igor Tudor di tiga laga awal musim baru Serie A

Secara garis besar, perbedaan gaya bermain Juventus di bawah dua pelatih ini sangat mencolok. Thiago Motta mengusung pendekatan yang lebih kaku. Juventus bermain, terutama dengan formasi 4-2-3-1, yang berfokus kepada membangun serangan dari lini belakang, intensi penguasaan bola tinggi, dan menarget kontrol ritme permainan absolut. Namun, serangan Juve era Motta kurang variatif dan agresif sehingga kerap kesulitan saat menghadapi tim yang menerapkan pertahanan rapat.

Awal kiprah Juve di Serie A era Thiago Motta memang menjanjikan. Mereka meraup kemenangan besar 3-0 melawan Como dan Hellas Verona. Rataan penguasaan bola di atas 60 persen dari 2 pertandingan tersebut juga termasuk suatu perubahan yang progresif setelah terbiasa bermain di bawah arahan Massimiliano Allegri yang cenderung pasif. Namun, celah negatif itu mulai muncul pada pertandingan ketiga ketika Juve bertemu AS Roma, tim yang di atas kertas punya materi pemain lebih baik dari dua tim sebelumnya. Di laga ini, upaya Juve untuk lebih mengontrol bola bisa diimbangi lawan. Tanpa penguasaan bola lebih sering, permainan mereka stagnan. Terlalu banyak upaya serangan yang tak sanggup dikonversi menjadi peluang yang sampai membahayakan gawang lawan. Pertandingan sendiri akhirnya berakhir 0-0.

Di sisi lain, Igor Tudor mengusung dinamika berbeda. Tudor mengimplementasikan pakem 3-4-2-1 yang memberikan keseimbangan antara soliditas pertahanan dan lebar permainan. Wing back sangat aktif menyerang sisi lapangan dengan memanfaatkan kecepatan dan intensitas pressing yang tinggi. Gaya bermain Tudor lebih vertikal dengan transisi cepat. Juve lebih agresif. Variasi serangan pun lebih beragam.

Lebih dari itu, Igor Tudor lebih fleksibel dan dinamis. Berbeda dari Motta, Tudor tak segan membiarkan lawan menguasai bola lebih banyak sambil menunggu di garis pertahanan rendah. Namun, ia punya penerapan transisi cepat yang bisa diandalkan untuk menghukum lawan ketika kehilangan bola di area berbahaya.

Meski begitu, bukan berarti Igor Tudor selalu pasif layaknya Juventus era Massimiliano Allegri. Ketika momentumnya pas, ia akan menginstruksikan anak asuhnya menekan agresif garis pertahanan lawan yang mencoba membangun serangan dari belakang. Tiga laga awal Juventus pada musim baru Serie A menunjukkan, baik Motta dan Tudor sama-sama bisa mengimplementasikan gaya menekan dengan garis pertahanan tinggi yang agresif. Namun, tiga laga awal musim ini membuktikan, Tudor berhasil membuat anak asuhnya menekan lebih kompak dan tidak mudah ditembus umpan-umpan vertikal dibandingkan gaya menekan Motta yang menyisakan banyak celah untuk dieksploitasi. Inter Milan, misalnya, terbiasa memainkan progresi bola vertikal dari lini belakang dan dipaksa melepaskan umpan-umpan panjang ke jantung pertahanan Juve ketika Igor Tudor memutuskan untuk mulai menekan mereka pada menit-menit akhir pertandingan ketiga Serie A 2025/2026. Juventus akhirnya memenangi laga dengan skor 4-3.

2. Perbedaan peran Kenan Yildiz

Pemanfaatan peran pemain kunci bisa menjadi titik pembeda yang signifikan dari perbandingan kedua pelatih ini. Peran untuk Kenan Yildiz, misalnya. Di tiga laga awal Serie A 2024/2025, Motta menempatkan bintang muda asal Turki tersebut di posisi nomor 10, tepat di belakang striker utama, Dusan Vlahovic. Di kultur sepak bola Italia yang cenderung menerapkan pertahanan rapat dan berorientasi pada zona, Yildiz sulit berkutik. Kecakapan dribel 1 lawan 1 dan kejelian memanfaatkan ruang kosong yang jadi keunggulan utama Yildiz ternegasikan. Ia kerap mendapati diri di ruang yang sesak oleh pemain lawan dan rekan setim. Apalagi, ia bertandem dengan Vlahovic, karakter striker yang kurang piawai menjaga ritme distribusi aliran bola. Namun, karena saat itu memang tidak punya opsi lain dalam skuadnya yang cocok ditempatkan di posisi tersebut, Motta pun terus memaksa Yildiz bermain di sana.

Pada era Tudor, Yildiz punya peran lebih bebas. Berangkat dari sisi kiri, ia diberikan keleluasaan untuk menginisiasi serangan dari mana saja. Ia bisa mulai dengan menerima bola secara terisolasi di sisi lebar lapangan, lalu berduel 1 lawan 1 dengan bek sayap lawan. Dalam beberapa kesempatan Yildiz bisa turun menjemput bola ke lini pertahanan sendiri sambil mengajak bek lawan mengikutinya sehingga membukakan celah untuk pemain Juve lain mengeksploitasi ruang tersebut. Ia juga lebih leluasa berakselerasi hingga ke kotak penalti, bermain umpan 1-2 dengan rekan Juventus lainnya, lalu mengirimkan umpan kunci atau tembak sendiri juga boleh-boleh saja. 

Peran ini bikin Kenan Yildiz lebih menonjol sebagai outlet utama skema serangan Juventus. Pergeseran tandem dari Dusan Vlahovic ke Jonathan David yang baru didatangkan gratis dari LOSC Lille pada musim panas 2025 lalu juga bikin kinerja Yildiz tampak lebih mudah. Secara, striker Kanada tersebut lebih bisa diajak kerja sama membangun serangan alih-alih hanya menunggu servis umpan matang tersaji di mulut gawang.

3. Igor Tudor lebih menjanjikan dibanding Thiago Motta?

Melihat start tiga laga awal musim masing-masing, Igor Tudor jelas memberikan hasil yang lebih meyakinkan. Catatannya terbilang positif. Start sempurna 9 poin berbanding 7 poin era Thiago Motta bisa saja menjadi titik balik.

Tudor juga menghadirkan perubahan taktik yang membuat Juventus lebih dinamis, cepat, dan variatif dalam serangan. Statistik xG, penguasaan bola, hingga intensitas pressing Tudor unggul dan menunjukkan progres nyata. Namun, Serie A 2025/2026 masih seumur jagung. Tudor punya tantangan besar untuk menjaga konsistensi, terutama di lini belakang yang masih terekspos seperti tampak dalam laga melawan Inter Milan.

Kebugaran pemain kunci, seperti Bremer yang baru pulih dari cedera ACL, juga harus dikelola hati-hati. Toh, musim lalu Thiago Motta masih baik-baik saja sebelum akhirnya skema yang ia usung kocar-kacir akibat Bremer terpaksa menepi lama. Mungkinkah Tudor bernasib lebih baik nanti?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team