Banyak pemain asing datang ke Premier League dengan reputasi gemilang, hanya untuk meninggalkan Inggris dalam waktu singkat. Bukan karena mereka tidak punya kemampuan, melainkan karena gaya bermain dan tuntutan sistemik di sana seringkali kurang sesuai dengan karakteristik mereka. Alih-alih disebut kurang berbakat, kegagalan dalam beradaptasi justru dipicu oleh perbedaan filosofi bermain.
Henrikh Mkhitaryan adalah contoh nyata dari fenomena ini. Saat pindah ke Manchester United pada 2016, ia datang dengan status bintang dari Borussia Dortmund. Namun di bawah asuhan Jose Mourinho, ia kesulitan menunjukkan kreativitasnya karena lebih dituntut untuk melakukan pekerjaan defensif yang bukan keunggulannya. Setelah masa singkat di Arsenal, ia pindah ke AS Roma dan kemudian berkembang pesat bersama Inter Milan, bahkan tampil impresif sebagai gelandang sentral pada usia 36 tahun.
Matteo Darmian mengalami kisah serupa. Direkrut Louis van Gaal, ia memulai kariernya di MU dengan baik, tetapi perlahan tergeser karena kurangnya kontribusi ofensif dan fisik yang dianggap kurang mumpuni. Namun setelah bergabung dengan AC Parma dan kemudian Inter, Darmian menunjukkan nilai lebihnya sebagai bek serbabisa yang dapat diandalkan saat momen penting, termasuk dua final Liga Champions bersama Inter.
Vitinha, yang nyaris tak dikenali oleh penggemar Wolverhampton Wanderers, kini menjadi otak permainan Paris Saint-Germain (PSG). Selama musim pinjamannya di Inggris, ia kesulitan mendapatkan menit bermain karena bersaing dengan Ruben Neves dan Joao Moutinho serta tidak cocok dengan peran No.10 dalam formasi 4-2-3-1. Namun setelah kembali ke Portugal dan selanjutnya ke PSG, ia menjelma sebagai gelandang pengatur tempo yang menjadi inti permainan klub dan Timnas Portugal.