Padatnya Jadwal Sepak Bola Sudah di Luar Nalar, Adakah Solusinya?

Intinya sih...
Lebih dari 1 dari 6 pemain sepak bola mengalami beban kerja berlebihan
Erling Haaland dan Mohamed Salah menunjukkan manfaat istirahat yang cukup
FIFA belum mengambil langkah konkret dalam menangani jadwal pertandingan yang padat
Sepak bola modern telah berkembang menjadi industri hiburan global yang menyedot perhatian miliaran penonton. Di balik gemerlapnya trofi kejuaraan dan sorotan stadion, tersembunyi beban kerja ekstrem yang ditanggung para pemain profesional. Jadwal pertandingan yang semakin padat setiap musim menjadi ancaman nyata terhadap daya tahan fisik dan mental mereka.
Laporan-laporan terbaru menunjukkan krisis kelelahan pemain bukan hanya isu tersembunyi, melainkan juga kenyataan yang terus memburuk. Organisasi pemain global seperti FIFPro secara tegas menyebut 2024/2025 adalah musim dengan beban terberat sepanjang sejarah. Jika tak ada intervensi konkret, dunia sepak bola bisa menyaksikan kemunduran kualitas permainan akibat kelelahan yang tak terelakkan.
1. 1 dari 6 pemain sepak bola telah mengalami beban kerja berlebihan
Laporan terbaru FIFPro menyebutkan, lebih dari separuh dari 1.500 pemain yang disurvei mengalami beban kerja berlebihan, dengan hampir 1 dari 6 pemain tampil lebih dari 55 kali dalam 1 musim. Angka tersebut melampaui batas aman yang biasa dianjurkan pelatih performa tingkat tinggi. Realitas ini menggambarkan beban kerja pemain sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Contoh paling ekstrem datang dari Julian Alvarez yang pada 2024/2025 tampil dalam 75 pertandingan untuk Atletico Madrid dan Timnas Argentina serta masuk dalam 83 matchday squad. Kapten Manchester United, Bruno Fernandes, bahkan mencatatkan 329 laga dalam 5 musim terakhir, menjadikannya pemain dengan menit bermain terbanyak di lima liga top Eropa sejak 2020. Tak kalah mengejutkan, Jude Bellingham, yang baru berusia 22 tahun pada Juni 2025 ini, sudah mengoleksi 251 penampilan, nyaris 5 kali lipat dari jumlah laga David Beckham pada usia yang sama.
Mantan pelatih performa Arsenal dan Liverpool, Darren Burgess, menekankan bahwa tubuh pemain muda sejatinya masih dalam tahap perkembangan biologis hingga usia pertengahan 20-an. Memberikan beban berlebih dalam fase krusial tersebut dapat meningkatkan risiko cedera jangka panjang dan mengganggu pertumbuhan tulang. Selain itu, tekanan mental yang terus-menerus tanpa ruang jeda turut menimbulkan kelelahan psikologis yang dapat memangkas usia karier profesional para pemain secara drastis.
2. Erling Haaland dan Mohamed Salah jadi contoh ideal dalam mengatur jadwal istirahat
Di tengah jadwal yang padat, Erling Haaland dan Mohamed Salah menjadi contoh ideal dari manfaat istirahat yang cukup. Keduanya memilih absen dari turnamen internasional pada musim panas 2024 dan menikmati libur yang utuh sebelum kembali berkompetisi. Hasilnya terlihat nyata, Haaland tetap menjadi mesin gol bagi Manchester City, sementara Salah tampil sebagai pemain utama dalam keberhasilan Liverpool meraih gelar juara English Premier League (EPL) 2024/2025.
Sebaliknya, banyak pemain yang tampil di turnamen besar langsung kembali bermain untuk klub tanpa masa pemulihan yang memadai. Kondisi ini membuat mereka terlihat kelelahan sejak awal musim yang tentu berdampak kepada performa dan risiko cedera. Situasi tersebut menunjukkan, waktu istirahat tidak hanya kemewahan opsional, tetapi juga kebutuhan esensial yang seharusnya diatur secara sistematis.
Maheta Molango, CEO Professional Footballers’ Association (PFA) dan anggota dewan FIFPro, menegaskan masalah ini bukan lagi sekadar teori. Ia mencontohkan Rodri, peraih Ballon d’Or 2024, yang bahkan mengakui tuntutan ini sudah terlalu berat hingga ia harus absen panjang akibat cedera anterior cruciate ligament (ACL). Dalam kondisi seperti ini, skema rotasi skuad oleh klub tak cukup untuk melindungi pemain dari beban kerja yang terus membesar. Dibutuhkan libur total di luar kompetisi sebagai bentuk pemulihan sesungguhnya.
3. Meski sudah digugat FIFPro, belum ada langkah konkret dari FIFA
Konflik terkait kalender pertandingan melibatkan banyak pihak, mulai dari FIFA, UEFA, klub, hingga serikat pemain dan liga domestik. FIFPro dan European Leagues bahkan telah melayangkan gugatan kepada Komisi Eropa karena FIFA dianggap menyalahgunakan dominasi pasar dengan menetapkan kalender internasional secara sepihak. Kekecewaan memuncak setelah FIFA memperluas format Piala Dunia Antarklub menjadi 32 tim yang berlangsung sepanjang pertengahan musim panas 2025 nanti.
FIFA berdalih, pertandingan yang mereka selenggarakan hanya mencakup kurang dari 1 persen dari total laga klub tiap musimnya. Namun, fakta bahwa turnamen seperti Piala Dunia Antarklub 2025 berlangsung hingga pertengahan Juli, hanya 5 minggu sebelum musim baru dimulai, memperlihatkan lemahnya perencanaan untuk memastikan jeda istirahat yang layak. Liga-liga top seperti Premier League pun terpaksa menyesuaikan dengan kalender FIFA, membuat pemain hampir tak memiliki ruang rehat.
Sebagai tanggapan, FIFPro merilis 12 rekomendasi berdasarkan studi dengan 70 pakar medis dan performa dari klub-klub elit dunia. Rekomendasi ini mencakup 4 minggu libur musim panas, 4 minggu masa pramusim, 1 pekan libur tengah musim, hari istirahat wajib setiap pekan, serta perlindungan khusus bagi pemain di bawah usia 21 tahun seperti Lamine Yamal. Sayangnya, hingga pertengahan 2025, belum ada indikasi FIFA akan mengadopsi standar ini secara menyeluruh.
Di tengah debat kusir mengenai jadwal pertandingan, para pemain sepak bola tetap menjadi pihak yang paling dirugikan. Jika semua pihak merasa bukan mereka penyebabnya, lantas siapa yang akan benar-benar bertindak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan para atlet? Tanpa batasan yang jelas dan perlindungan yang memadai, industri sepak bola diprediksi bergerak maju di atas fondasi rapuh.