Konflik terkait kalender pertandingan melibatkan banyak pihak, mulai dari FIFA, UEFA, klub, hingga serikat pemain dan liga domestik. FIFPro dan European Leagues bahkan telah melayangkan gugatan kepada Komisi Eropa karena FIFA dianggap menyalahgunakan dominasi pasar dengan menetapkan kalender internasional secara sepihak. Kekecewaan memuncak setelah FIFA memperluas format Piala Dunia Antarklub menjadi 32 tim yang berlangsung sepanjang pertengahan musim panas 2025 nanti.
FIFA berdalih, pertandingan yang mereka selenggarakan hanya mencakup kurang dari 1 persen dari total laga klub tiap musimnya. Namun, fakta bahwa turnamen seperti Piala Dunia Antarklub 2025 berlangsung hingga pertengahan Juli, hanya 5 minggu sebelum musim baru dimulai, memperlihatkan lemahnya perencanaan untuk memastikan jeda istirahat yang layak. Liga-liga top seperti Premier League pun terpaksa menyesuaikan dengan kalender FIFA, membuat pemain hampir tak memiliki ruang rehat.
Sebagai tanggapan, FIFPro merilis 12 rekomendasi berdasarkan studi dengan 70 pakar medis dan performa dari klub-klub elit dunia. Rekomendasi ini mencakup 4 minggu libur musim panas, 4 minggu masa pramusim, 1 pekan libur tengah musim, hari istirahat wajib setiap pekan, serta perlindungan khusus bagi pemain di bawah usia 21 tahun seperti Lamine Yamal. Sayangnya, hingga pertengahan 2025, belum ada indikasi FIFA akan mengadopsi standar ini secara menyeluruh.
Di tengah debat kusir mengenai jadwal pertandingan, para pemain sepak bola tetap menjadi pihak yang paling dirugikan. Jika semua pihak merasa bukan mereka penyebabnya, lantas siapa yang akan benar-benar bertindak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan para atlet? Tanpa batasan yang jelas dan perlindungan yang memadai, industri sepak bola diprediksi bergerak maju di atas fondasi rapuh.