Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ketika Pep Guardiola Memecah Kesunyian Isu Gaza di Sepak Bola Eropa

ilustrasi stadion sepak bola
ilustrasi stadion sepak bola (IDN Times/Mardya Shakti)
Intinya sih...
  • UEFA dan FIFA gagal menjaga konsistensi moral terhadap konflik kemanusiaanSejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, FIFA dan UEFA bergerak cepat menjatuhkan sanksi.
  • Pep Guardiola memanfaatkan mimbar akademis untuk bersuara mengenai isu GazaGuardiola menyampaikan rasa takutnya sebagai ayah melihat gambar anak-anak yang tewas di Gaza.
  • Isu kemanusiaan harusnya tidak menjadi tabu bagi tokoh sepak bolaPidato Pep Guardiola membelah kesunyian yang terlalu lama menyelimuti sepak bola Eropa dalam menanggapi tragedi kemanusiaan.

Manajer Manchester City, Pep Guardiola, baru-baru ini menerima gelar kehormatan dari University of Manchester pada Senin (9/6/2025) waktu setempat. Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan pidato yang tak biasa bagi seorang pelatih sepak bola. Alih-alih berbicara tentang sepak bola, ia memilih menggunakan momen tersebut untuk menyuarakan empati terhadap korban sipil di Gaza yang terus menderita akibat konflik Israel-Palestina.

Pidato Guardiola mengguncang kesunyian dunia sepak bola Eropa yang selama ini lebih memilih diam. Suaranya bukan sekadar retorika politik, melainkan juga ketulusan dan ketakutan sebagai seorang ayah yang melihat penderitaan anak-anak di tempat lain. Selain mencerminkan keberpihakan kepada kemanusiaan, keberaniannya berbicara menjadi secercah harapan akan hadirnya moralitas dalam industri sepak bola modern.

1. UEFA dan FIFA gagal menjaga konsistensi moral terhadap konflik kemanusiaan

Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, FIFA dan UEFA bergerak cepat menjatuhkan sanksi. Dalam waktu 4 hari saja, mereka menangguhkan seluruh partisipasi klub dan Timnas Rusia dari kompetisi internasional serta menyatakan dukungan terbuka terhadap rakyat Ukraina. Namun, ketika Israel melancarkan serangan militer kepada Palestina pascaserangan pada 7 Oktober 2023, tidak ada satu pun langkah serupa dari badan sepak bola tersebut.

Palestinian Football Association (PFA) secara terbuka mengecam FIFA atas lambatnya proses investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan tim-tim Israel. Mereka menyoroti keberadaan klub dari permukiman ilegal di Tepi Barat yang masih ikut serta dalam kompetisi nasional Israel, yang menurut mereka melanggar Statuta FIFA. Meskipun FIFA telah membuka dua penyelidikan terkait tim permukiman dan tuduhan diskriminasi oleh Israel Football Association (IFA), tidak satu pun keputusan konkret diumumkan, bahkan 8 bulan setelah janji tinjauan mendalam dibuat.

Kontras mencolok juga tampak dari sikap UEFA. Badan sepak bola Eropa itu tetap memperbolehkan pertandingan Timnas Israel digelar di luar negeri demi alasan keamanan, tanpa menjatuhkan sanksi apa pun. Bandingkan dengan langkah cepat UEFA saat tragedi di Brussels pada Oktober 2023, ketika pertandingan langsung dibatalkan dan penghormatan nasional digelar. Ketimpangan ini menunjukkan adanya standar ganda dalam perlakuan terhadap pelanggaran yang pada akhirnya meruntuhkan klaim sepak bola sebagai penjaga nilai keadilan dan hak asasi manusia.

2. Pep Guardiola memanfaatkan mimbar akademis untuk bersuara mengenai isu Gaza

Pep Guardiola bukan sosok asing dalam urusan politik dan prinsip. Pada 2017, ia dengan lantang menyuarakan dukungan terhadap referendum kemerdekaan Catalunya, bahkan rela membayar denda karena mengenakan pita kuning sebagai bentuk solidaritas. Namun, pidatonya di Manchester kali ini berbeda. Ia tidak hanya berbicara atas nama ideologi atau wilayah, tetapi juga tentang rasa sakit sebagai manusia yang menyaksikan penderitaan sesama.

“Ini sangat menyakitkan apa yang kita lihat di Gaza. Itu menyakitkan seluruh tubuh saya. Biar saya perjelas–ini bukan tentang ideologi. Ini bukan tentang saya benar dan Anda salah. Ayolah, ini hanya tentang cinta kehidupan. Tentang kepedulian terhadap sesama. Mungkin kita berpikir bahwa kita dapat melihat anak laki-laki dan perempuan 4 empat tahun dibunuh dengan bom atau dibunuh di rumah sakit, yang bukan rumah sakit lagi, dan berpikir bahwa itu bukan urusan kita,” ujarnya dikutip The Athletic.

Selain itu, Guardiola menyampaikan rasa takutnya sebagai ayah melihat gambar anak-anak yang tewas di Gaza seolah-olah itu bisa terjadi pada anaknya sendiri. Empati Guardiola melampaui batas geografi, agama, dan politik. Ia menunjukkan rasa peduli tidak perlu izin untuk disuarakan.

Melalui kisah metaforis seekor burung kecil yang mencoba memadamkan api hutan dengan air di paruhnya, Guardiola mengirimkan pesan kuat bahwa tiap upaya kecil tetap bernilai dalam menghadapi ketidakadilan. Keputusannya untuk bersuara menjadi sangat bermakna karena klubnya sendiri, Manchester City, tidak menyinggung isu Gaza dalam publikasi resmi mereka meski mereka meliput acara penghargaan tersebut. Dengan demikian, ia telah memberi preseden moral bagi tokoh dalam sepak bola, khususnya pelatih, bisa dan seharusnya menggunakan panggung mereka untuk menyuarakan nurani.

3. Isu kemanusiaan harusnya tidak menjadi tabu bagi tokoh sepak bola

Pidato Pep Guardiola membelah kesunyian yang terlalu lama menyelimuti sepak bola Eropa dalam menanggapi tragedi kemanusiaan. Ia membuktikan, sosok dalam dunia sepak bola tidak harus diam atau netral ketika menyaksikan ketidakadilan. Justru, keberanian Guardiola membuka ruang bagi pelatih, pemain, dan tokoh sepak bola lain lain untuk bersuara tentang isu-isu besar dunia tanpa takut akan stigmatisasi atau pembalasan institusional.

Kisah Anwar El Ghazi menunjukkan sisi lain dari dunia yang sama. Pada Oktober 2023, kontraknya bersama FSV Mainz 05 diputus sepihak karena unggahan media sosial yang dianggap pro-Palestina. El Ghazi kemudian menyumbangkan 500 ribu euro (Rp9,3 miliar) dari pesangonnya untuk anak-anak Gaza, tetapi pilihannya membuatnya disingkirkan.

Tidak seperti El Ghazi, pemain Liverpool asal Mesir, Mohamed Salah, mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dengan menyerukan kepada para pemimpin dunia agar menghentikan kekerasan. Sementara itu, Guardiola menempuh jalur yang berbeda dalam menyampaikan pesannya. Ia memilih berbicara sebagai sosok yang peduli akan kemanusiaan, bukan sebagai figur politik.

Dengan keberaniannya, Guardiola telah mendobrak batasan yang selama ini mengekang dunia sepak bola. Ia mengubah panggung formalitas menjadi mimbar moralitas. Potensi efek domino dari tindakannya tidak bisa diremehkan. Suaranya bisa memicu gerakan kesadaran kolektif di kalangan fans, media, bahkan federasi. Bila lebih banyak tokoh sepak bola mengikuti jejaknya, tekanan publik terhadap institusi seperti FIFA dan UEFA bisa meningkat hingga memaksa mereka untuk bertindak konsisten dan manusiawi.

Pep Guardiola telah membuktikan satu suara dapat menggugah nurani dalam ruang yang sunyi. Kini, giliran dunia sepak bola Eropa memutuskan untuk tetap diam atau ikut bersuara.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us