Sebenarnya bukan hal yang susah dijawab, alasan tim olahraga profesional ramai-ramai merilis vlog dan video pendek di media sosial dan kanal streaming tak lain adalah soal profit. Ini utamanya bisa membantu tim-tim yang tak punya banyak mitra sponsor dan tidak masuk kategori tim populer yang bisa meraup untung dari penjualan tiket pertandingan serta pernak-pernik resmi. Untuk tim-tim medioker macam itu, biasanya penghasilan utama mereka datang dari pembagian royalti hak siar.
Namun, di tengah ekonomi yang makin kapitalis ini, mengandalkan satu sumber penghasilan jelas bukan hal bijak. Vlog dan video pendek pun dilihat sebagai cara efektif mendapat sumber pendapatan alternatif. Apalagi, vlog dan video pendek yang biasanya menyoal aktivitas belakang layar ini terbukti cukup umum dipakai untuk keperluan promo.
Merujuk tulisannya, Richards, dkk dalam tulisan berjudul ‘Engaging Audiences with Behind-the-Scenes Science Media’ dalam Journal of Broadcasting & Electronic Media, video behind the scenes (BTS) pertama kali diperkenalkan oleh pegiat industri film untuk memperkenalkan aktor baru dan teknologi yang mereka pakai. Featurette istilahnya. Dalam riset yang mereka lakukan pula, ada pengaruh yang lumayan antara video belakang layar dengan kesan autentik dan kredibel sebuah brand. Video yang mereka pakai memang bertema sains dan edukasi, tetapi secara umum banyak unit bisnis dari berbagai sektor yang pakai teknik ini dan memang berhasil.
Setidaknya dengan meningkatkan engagement penggemar dengan mempertontonkan “sisi lain” dan relevansi mereka dengan penonton. Vlog dan video pendek tadi bahkan bisa membiayai dan membantu publikasi klub-klub olahraga amatir. Seperti liputan Tom Usher, dkk dari BBC Three yang membuktikan keberadaan klub-klub sepak bola akar rumput (amatir) dengan ratusan ribu pengikut di media sosial dan jutaan views di platform streaming.