Selama 2 dekade lebih, Daniel Levy dikenal luas sebagai negosiator ulung, tetapi sangat keras kepala. Mantan Manajer Mancheser United, Sir Alex Ferguson, pernah menyindir jika negosiasi transfer dengan Levy lebih rumit ketimbang menjalani operasi medis besar, sementara Pep Guardiola menyebutnya master negosiasi dengan nada sinis ketika Tottenham menolak melepas Harry Kane pada 2021. Reputasinya ini membuat Levy disegani di ruang rapat sekaligus dibenci banyak lawan maupun fans.
Salah satu kritik utama terhadap Levy ialah kecenderungannya menekan struktur gaji dan berhemat dalam transfer. Tottenham kerap tertinggal dalam perekrutan pemain top dibandingkan rival, seperti Manchester City, Chelsea, dan Liverpool, meski memiliki potensi finansial yang memadai. Bagi para pendukung, sikap hati-hati itu dianggap sebagai penghalang utama Spurs untuk naik level dan bersaing serius dalam perebutan gelar juara.
Selain itu, gaya kepemimpinan Levy juga kerap diwarnai ketidakstabilan di kursi kepelatihan. Mauricio Pochettino, yang sukses membawa Spurs ke final Liga Champions Eropa 2019, tak luput dari pemecatan. Bahkan, Ange Postecoglou diberhentikan hanya 2 minggu setelah menghadirkan trofi juara Liga Europa, sehingga menegaskan citra manajemen yang tidak stabil.
Keterlibatan Levy dalam proyek European Super League (ESL) pada 2021 membuat hubungannya dengan fans makin renggang. Para pendukung merasa keputusan tersebut lebih mementingkan keuntungan bisnis dibandingkan nilai olahraga. Kekecewaan itu mereka tunjukkan melalui protes terbuka dengan spanduk bertuliskan “Our game is about glory, Levy’s game is about greed”.