Jika ditelusuri dari keempat poin sebelumnya, alasan UEFA menolak klub dengan kepemilikan ganda berkaitan erat dengan komitmen menjaga nilai-nilai inti dalam sepak bola, seperti integritas, keadilan, dan transparansi. Regulasi yang mengatur soal kepemilikan bersama dirancang untuk menghindari konflik kepentingan dalam pertandingan, praktik transfer, hingga stabilitas keuangan antar klub. Namun, dalam implementasinya, tantangan yang muncul tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga memengaruhi kepercayaan publik terhadap jalannya kompetisi secara menyeluruh.
Kasus seperti Manchester City dan Girona, Crystal Palace dan Lyon, serta Chelsea dan Aston Villa menunjukkan bahwa kepemilikan ganda berpotensi menciptakan tumpang tindih kendali meskipun struktur hukumnya sudah dipisahkan. UEFA memandang kepemilikan formal sebagai aspek yang perlu diawasi sekaligus mempertimbangkan sejauh mana pengaruh pengambil keputusan dapat menjangkau dua klub yang berpartisipasi dalam satu kompetisi. Karena itulah, berbagai langkah pengawasan dan pembatasan diterapkan guna memastikan bahwa seluruh peserta berada pada posisi yang setara dan independen.
Tekanan dari pendukung klub dan perhatian media menunjukkan bahwa publik sangat peka terhadap isu ini. Suara suporter yang menuntut kejelasan dan keadilan menjadi bagian krusial dalam pengawasan sosial terhadap kebijakan sepak bola modern. Oleh karena itu, kepemilikan ganda menjadi perhatian utama UEFA karena secara langsung menyentuh kredibilitas dan semangat sportivitas yang ingin dijaga dalam setiap pertandingan Eropa.
Kepemilikan ganda telah menjadi bagian dari dinamika baru dalam sepak bola Eropa yang membawa konsekuensi terhadap struktur kompetisi. UEFA menjalankan regulasi untuk memastikan setiap klub tetap berjalan secara independen tanpa keterkaitan operasional. Langkah ini mencerminkan upaya untuk menjaga integritas dan kejelasan dalam setiap partisipasi klub di ajang kontinental.