Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ketika Menjual Pemain Andalan jadi Jalan Baru Bisnis Klub Sepak Bola

potret pemain sepak bola sedang melakukan latihan (unsplash.com/@terracegrain)

Sepak bola modern mengalami transformasi yang cukup cepat dari hiburan menjadi industri global bernilai triliunan. Selain dituntut tampil kompetitif di lapangan, klub-klub juga harus cakap dalam mengelola finansial mereka. Ketidakseimbangan antara performa olahraga dan keberlanjutan keuangan bisa menjadi ancaman nyata bagi eksistensi klub.

Dalam situasi saat ini, strategi bisnis menjadi krusial untuk mempertahankan kinerja dan identitas klub dalam jangka panjang. Penjualan aset, termasuk lulusan akademi dan talenta muda, kini menjadi fondasi utama dalam menjaga keberlangsungan dan daya saing klub. Maka, bagaimana praktik ini membentuk identitas dan arah baru dunia sepak bola sekarang?

1. Klub mulai fokus menjaga performa lapangan sekaligus keuangan

Klub sepak bola saat ini tidak hanya semata-mata mengejar gelar juara, tetapi juga menjaga neraca keuangan yang sehat dan berkelanjutan. Menurut Andras dan Havran dalam jurnal berjudul “New Business Strategies of Football Clubs”, perubahan ini memunculkan lima model strategi yang menggambarkan keseimbangan antara ambisi olahraga dan tujuan ekonomi. Dua pendekatan yang paling menonjol dalam hal ini adalah success-circle dan transfer strategy, yang merepresentasikan upaya klub untuk menyeimbangkan performa di lapangan dengan kepentingan finansial. 

Model success-circle mengandalkan pencapaian olahraga untuk meraih pendapatan dengan harapan hasil kompetitif akan menarik sponsor, meningkatkan penjualan tiket, dan memperkuat merek klub. Sebaliknya, transfer strategy menitikberatkan kepada pengembangan pemain sebagai aset bisnis yang bisa dijual demi pendapatan berulang. Klub-klub yang mengedepankan model ini menanamkan investasi jangka panjang terhadap pencarian bakat, akademi, dan scouting global.

Selain bersifat teoritis, kedua teori ini pun merespons langsung tantangan yang dihadapi klub dalam ekosistem sepak bola modern, seperti ketimpangan pendapatan, kenaikan biaya gaji, dan konsentrasi kesuksesan segelintir klub besar. Strategi success-circle umumnya diterapkan klub-klub besar yang telah memiliki reputasi kuat serta rekam jejak prestasi di level domestik maupun internasional. Sementara itu, transfer strategy lebih sesuai bagi klub-klub menengah atau nonelite, baik di lima liga top Eropa maupun di kompetisi seperti Liga Primeira Portugal dan Eredivisie Belanda.

2. Penjualan pemain akademi sangat menjanjikan meski perlu waktu lama

Peran akademi pemain muda dalam sepak bola telah bergeser dari sekadar sarana regenerasi ke skema bisnis berkelanjutan. Dalam laporan Football Benchmark, akademi kini dilihat sebagai komoditas strategis yang mampu menghasilkan pendapatan langsung dari penjualan maupun efisiensi biaya transfer dan gaji. Meski biaya operasional akademi di Eropa bisa mencapai 4,8 juta euro (Rp91,3 miliar) per tahun, hasil jangka panjangnya dapat jauh melampaui investasi awal.

Chelsea menjadi contoh konkret strategi ini. Dalam 10 tahun terakhir sejak 2014/2015, The Blues telah menjual 39 pemain akademi mereka dengan total pendapatan sebesar 285 juta pound sterling (Rp6,289 triliun). Mason Mount tercatat sebagai produk akademi termahal yang dijual dengan nominal 55 juta pound sterling (Rp1,215 triliun) saat pindah ke Manchester United. Langkah ini menunjukkan bagaimana akademi bukan hanya tempat pembinaan, melainkan juga sumber pemasukan strategis bagi keberlanjutan finansial klub.

Namun, strategi penjualan pemain akademi bukan tanpa tantangan. Butuh waktu 10–15 tahun untuk menghasilkan pemain yang siap tampil di level tertinggi. Oleh sebab itu, klub harus memiliki visi yang jelas, manajemen yang stabil, dan proses transisi yang terintegrasi dengan filosofi permainan tim utama.

3. Klub tak gentar menjual pemain kunci kendati ada risiko penurunan performa

Menjual pemain terbaik klub kini bukan lagi tanda kelemahan, melainkan bisa dipandang sebagai kecerdasan finansial dalam industri yang kompetitif. Dilansir The Athletic, klub seperti Brighton & Hove Albion, Wolverhampton Wanderers, dan AFC Bournemouth telah menyusun rencana jangka panjang untuk mengantisipasi kepergian bintang mereka dengan cara yang sistematis dan terukur. Mereka mulai dari deteksi dini potensi kepergian, negosiasi terbuka dengan agen, hingga rekrutmen pengganti jauh sebelum bursa transfer dibuka.

Brighton menjual dua gelandang utamanya, Moises Caicedo dan Alexis Mac Allister, pada musim panas 2023 dengan total nilai transfer 150 juta pound sterling (Rp3,310 triliun). Meskipun pada musim berikutnya klub sempat menurun ke peringkat 11, strategi pembelian pemain muda seperti Carlos Baleba dan Matt O’Riley berhasil memulihkan performa tim secara bertahap. Ini menunjukkan, transisi yang direncanakan dengan matang dapat meminimalisir dampak negatif dari penjualan pemain inti.

Sebaliknya, klub seperti Tottenham Hotspur dan Aston Villa menjadi contoh kegagalan strategi reaktif. Setelah menjual Gareth Bale pada 2013, Spurs menghabiskan 85 juta pound sterling (Rp1,8 triliun) untuk tujuh pemain baru, tetapi hanya Christian Eriksen yang terbilang berhasil. Sementara Aston Villa, usai melepas Jack Grealish, mengalami inkonsistensi performa akibat ketidakjelian dalam memilih pengganti. Kasus-kasus ini menegaskan pentingnya rencana penjualan dan pembelian yang berbasis analisis menyeluruh.

4. Brighton jadi salah satu contoh klub yang sukses mengelola aset pemain

Mengutip laman resmi Brighton & Hove Albion, mereka mencatatkan laba operasional sebesar 73,3 juta pound sterling (Rp1,618 triliun) dalam laporan keuangan 2023/2024. Ini sekaligus menjadi salah satu kinerja finansial terbaik dalam sejarah klub. Pendapatan mereka meningkat menjadi 222,4 juta pound sterling (Rp4,911 triliun), naik 8,9 persen dari musim sebelumnya, dengan pemasukan matchday mencapai 27,9 juta pound sterling (Rp616,1 miliar)

Keberhasilan finansial Brighton pada musim tersebut tak lepas dari aktivitas transfer yang menguntungkan. Penjualan pemain seperti Moises Caicedo ke Chelsea menjadi salah satu sumber pemasukan terbesar klub. Di balik pencapaian ini, terdapat strategi transfer yang matang serta pengembangan pemain yang terintegrasi dan konsisten.

Strategi rekrutmen Brighton dibangun di atas empat pilar: mendatangkan pemain underrated dari pasar kelas dua, menyesuaikan profil pemain dengan struktur taktis tim, memberi menit bermain reguler, dan menjual saat nilai pasar sang pemain berada di puncak. Moises Caicedo, misalnya, yang dibeli seharga 4 juta pound (Rp88,3 miliar) sterling dan dijual 115 juta pound sterling (Rp2,537 triliun) yang mencerminkan efektivitas pendekatan ini. Klub juga memaksimalkan skema buy-to-loan, seperti Kaoru Mitoma yang sempat dipinjamkan ke Union St. Gilloise sebelum bersinar di English Premier League.

Keberhasilan Brighton juga didukung oleh kesinambungan filosofi antara pelatih dan manajemen. Transisi pelatih dari Graham Potter ke Roberto De Zerbi berlangsung mulus karena pendekatan permainan keduanya sejalan dengan prinsip, yakni sirkulasi bola dari belakang, eksploitasi ruang dari sisi lapangan, dan pressing tinggi di area lawan. Dengan pendekatan holistik ini, The Seagulls tidak hanya mampu bersaing di atas lapangan, tetapi juga mulai ditiru klub-klub lain dalam membangun bisnis sepak bola yang efisien dan berdaya saing.

Strategi bisnis dalam sepak bola kini menjadi tumpuan keberhasilan jangka panjang klub, bukan sekadar pelengkap dari performa di lapangan. Dari akademi hingga pasar transfer, pendekatan proaktif dan sistematis terbukti mampu menghasilkan stabilitas dan nilai ekonomi berkelanjutan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo
EditorAtqo
Follow Us