ilustrasi pemain sepak bola (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)
Sebagai olahraga terpopuler di dunia, atlet sepak bola semacam bertengger di sebuah platform yang tinggi. Ini membuat orang cenderung melabeli mereka manusia super. Tak terkalahkan, harus selalu tampil prima, dan tak boleh melakukan kesalahan. Padahal atlet juga manusia yang punya risiko mengalami guncangan mental, baik karena faktor genetik atau pengalaman pahit dalam hidup, seperti kehilangan orang terdekat.
Status sebagai atlet bisa menambah faktor penyebab dan pemicu gangguan kesehatan mental. Seperti yang dijelaskan Gouttebarge & Kerkhoffs dalam salah satu bab di buku Return to Play in Football berjudul "Mental Health in Professional Football Players", ada faktor-faktor yang berkaitan erat dengan profesi olahraga. Misalnya saja cedera serius atau berdurasi panjang, ketidakpuasan dalam karier, masalah dengan rekan kerja dan/atau pelatih, tekanan saat bermain.
Studi yang dilakukan FIFPRO, asosiasi atlet sepak bola internasional mengeklaim, setidaknya 38 persen atlet sepak bola aktif pernah merasakan gejala gangguan mental. Ini bisa berupa distres, cemas, depresi, sulit tidur, dan penyalahgunaan alkohol/narkoba. Gouttebarge & Kerkhoffs menambahkan, risiko gangguan mental ini naik pada atlet yang pernah mengalami cedera panjang. Gejala-gejala itu juga punya dampak pada performa pemain di lapangan, bahkan berpengaruh pada keputusan mereka untuk kembali bermain.
Beberapa atlet yang difitur FIFPRO dalam studi mereka memberikan testimoni tentang minimnya dukungan dari klub saat bicara kesehatan mental. Studi yang dilakukan beberapa peneliti dari University of Brunel pada 2019 pun menemukan bahwa jumlah psikolog dalam klub sepak bola profesional di Inggris sangat minim. Artinya, dukungan terhadap kesehatan mental masih kontras dengan dukungan terapi fisik yang melimpah.