Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Usia Hanya Sebuah Angka untuk Sang Late Bloomer Bernama Luca Toni

ilustrasi sepak bola (pixabay.com/jarmoluk)
ilustrasi sepak bola (pixabay.com/jarmoluk)

Di dunia sepak bola, kebanyakan pemain bersinar sejak usia muda. Lionel Messi, Wayne Rooney, Lamine Yamal, dan Neymar Jr menjadi beberapa contohnya. Namun, Luca Toni membuktikan bahwa kesuksesan bisa datang belakangan.

Pemain berkebangsaan Italia itu mencapai puncak karier saat banyak pemain seusianya mulai pensiun. Perjalanan Toni menjadi simbol bagi para late bloomer untuk tak menyerah meski memasuki usia senja. Dengan kisah yang panjang dan tekad kuat, Toni membangun karier dari divisi bawah Liga Italia, juara Piala Dunia, dan pensiun sebagai legenda.

1. Awal karier yang penuh keraguan

Luca Toni memulai karier sepak bolanya di sebuah akademi bernama Officine Meccaniche Frignanesi. Ia tak bisa langsung melejit pada usia muda. Bahkan, klub profesional pertamanya adalah Modena, klub yang terdengar asing di telinga penggemar sepak bola, bahkan penggemar Serie A Italia.

Toni bukanlah tipikal pemain muda yang langsung menggebrak Serie A. Ia dikenal lambat, kaku, dan tak sesuai dengan gaya cepat sepak bola modern kala itu. Pada usia 25 tahun, ia masih berjuang di Serie B Italia. Kala itu, banyak yang menganggap ia tak akan pernah masuk ke jajaran elit pesepak bola Italia.

Sebelum usianya 27 tahun, Toni pun hanya membela klub-klub semenjana. Sebut saja Modena, Empoli, Fiorenzuola, Treviso, Vicenza, dan Brescia. Namun, jika melihat secara statistik, ia cukup memuaskan. Lagi-lagi, karena hanya bermain di klub kecil yang berlaga di divisi bawah Liga Italia, ia jarang mendapat sorotan media.

2. Masa bersinar di Fiorentina

Toni tak menyerah dengan keterlambatan. Ketekunannya mulai berbuah ketika ia bergabung dengan Palermo di musim 2003/2004. Di klub asal Sisilia ini, ia mencetak 30 gol pada musim pertamanya dan membawa Palermo promosi ke Serie A. Hal tersebut menjadi titik balik yang membuatnya bermimpi sebagai seorang late bloomer.

Musim berikutnya, ia kembali bersinar bersama Palermo di Serie A. Inilah yang membuat Toni dilirik oleh Fiorentina dan akhirnya pindah ke klub tersebut pada musim panas 2005. Di klub itulah, ia mendapatkan sorotan yang tajam.

Pada 2005/2006 atau musim pertamanya di Fiorentina, Toni meledak. Ia mencetak 31 gol dalam satu musim Serie A, menjadi top skor liga, dan meraih Golden Boot Eropa. Ia pun mencetak sejarah sebagai pemain pertama yang mencetak lebih dari 30 gol setelah Antonio Valentín Angelillo pada 1959.

Kehebatan Toni membuat dunia sadar jika sosok penyerang klasik ada pada dirinya. Gaya bermainnya memang tak seanggun Alessandro Del Piero atau secepat Filippo Inzaghi. Namun, ia punya insting predator, penempatan posisi sempurna, dan keahlian duel udara yang mematikan, deretan atribut yang seharusnya dimiliki pemain nomor 9. 

Toni bukan hanya menjawab keraguan, tapi juga menunjukkan bahwa usia bukan batas. Pada usia 29 tahun, ia menjadi bomber paling mematikan di Italia, bahkan Eropa. Usia meneguhkan diri sebagai seorang late bloomer yang layak diperhitungkan.

3. Pahlawan Italia di Piala Dunia 2006

Bicara soal kiprah Toni di Timnas Italia, ia juga terhitung terlambat. Ia baru melakukan debut untuk negaranya pada 2004, ketika ia sudah berusia 27 tahun. Namun, posisinya belum menjadi langganan kala itu.

Setelah Toni meledak bersama Fiorentina, ia mulai menjadi langganan. Ia pun dibawa ke kompetisi major pertamanya bersama Timnas Italia, tepatnya di Piala Dunia 2006. Di turnamen ini, ia menjadi salah satu elemen penting dalam skema Marcello Lippi.

Pada fase grup, ia gagal mencetak gol atau assist. Namun, ia bangkit pada perempat final kontra Ukraina dengan mencetak dua gol. Sayangnya, ia gagal mencetak gol pada laga-laga berikutnya.

Meski begitu, bantuan Toni sangat membantu Italia menjadi juara Piala Dunia 2006. Baginya, itu adalah momen puncak dalam kariernya. Ia mungkin tak membayangkan jika seorang late bloomer yang masih bermain di Serie B pada usia 25 tahun, berhasil menjadi juara dunia pada usia 29 tahun.

4. Melesat bersama Bayern Munich

Setelah Piala Dunia 2006, Toni pindah ke Bayern Munich pada musim panas 2007. Pada musim debutnya itu, ia mencetak 39 gol di semua kompetisi dan membawa Bayern Munich menjuarai Bundesliga Jerman, DFB-Pokal, dan meraih gelat top scorer Bundesliga. Hal tersebut membuat namanya semakin dikenal.

Prestasinya bersama Bayern Munich membuat Toni membuktikan dirinya bukan hanya penyerang lokal yang jago di kandang (Italia). Namun, ia membuktikan jika dirinya bisa bersaing di level top Eropa. Kiprahnya di Bayern Munich menjadi buktinya.

5. Pulang ke Italia untuk mencetak kenangan manis

Setelah 2,5 musim membela Bayern Munich, Toni kembali ke Italia. Namun, ia tetaplah seorang the journeyman. Sepulangnya ia ke Italia, ia sempat membela AS Roma, Genoa, Fiorentina, Juventus, dan Hellas Verona.

Meski sudah menua dan kualitasnya menurun, ia masih seorang predator yang ganas. Bayangkan saja, di usia 38 tahun, ia masih mampu mencetak 22 gol untuk Hellas Verona di Serie A 2014/15. Ketajamannya itu membuat Toni kembali mengkuir prestasi sebagai top scorer.

6. Ingatlah, Toni adalah legenda sepak bola

Dalam kariernya, ia sukses mencatatkan lima gelar top scorer. Pencapaian yang sangat sulit untuk diikuti, apalagi bagi seorang pemain yang telat bersinar. Namun, bagi Toni, tak ada yang tidak mungkin.

Pada 2016, Toni resmi pensiun di Hellas Verona sebagai salah satu penyerang tersukses Italia. Namanya memang tak sebesar Alessandro Del Piero, Fransesco Totti, atau Roberto Baggio. Namun, sosok penyerang tajam seperti Toni mungkin tak akan ditemukan kembali pada era sepak bola modern.

Perlu kembali diingat jika sosok pria bernama Luca Toni adalah legenda sepak bola. Meski sempat dipandang sebelah mata karena telat bersinar, ia masih terus berjuang hingga akhirnya dikenal dunia. Ia adalah simbol ketekunan, tapi juga inspirasi bagi siapapun yang terlambat berkembang.

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo Sy
EditorAtqo Sy
Follow Us