ilustrasi siswa saat jam belajar mengajar di kelas (unsplash.com/Husniati Salma)
Jika Presiden benar-benar ingin menekan angka kekerasan di kalangan pelajar, pendekatan yang paling efektif bukanlah membatasi game online itu sendiri. Literasi empati dan dukungan sosial di sekolah juga perlu dibangun. Salah satu model yang bisa dijadikan rujukan adalah program Social Emotional Learning (SEL) yang diterapkan di Finlandia.
Finlandia menempatkan kesejahteraan siswa sebagai bagian dari mandat hukum pendidikan dasar. Dari kerangka itulah, tim Psikologi Pendidikan Universitas Turku mengembangkan program KiVa (Kiusaamista Vastaan) yang berarti “melawan perundungan.” Program ini lahir berkat dukungan penuh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia yang dimulai dari uji coba pada 2007–2009, kemudian diluncurkan secara nasional. Kini, KiVa menjadi salah satu program anti-bullying paling sering dievaluasi dan diadaptasi di dunia.
Penelitian dari University of California 2016 terhadap hampir 7.000 siswa kelas 4–6 di sekitar 80 sekolah dasar Finlandia menunjukkan hasil signifikan. Sekitar separuh sekolah yang menerapkan KiVa mencatat penurunan tajam kasus bullying dibanding sekolah tanpa intervensi serupa. Lebih jauh, penelitian ini menemukan bahwa KiVa berhasil mengurangi tingkat depresi pada sekitar 4 persen siswa kelas enam yang paling sering menjadi korban bullying dan meningkatkan rasa percaya diri di kalangan 15 persen siswa lain yang pernah mengalami perundungan beberapa kali per bulan. Analisis lanjutan yang mencakup 53 program anti-bullying di seluruh dunia juga menunjukkan bahwa peluang seorang siswa menjadi korban bullying hampir dua kali lebih tinggi di sekolah tanpa KiVa dibanding sekolah yang mengimplementasikannya.
Menurut Jaana Juvonen, profesor psikologi di UCLA yang telah meneliti bullying selama lebih dari dua dekade, keunggulan KiVa terletak pada pendekatan komuniternya. “Biasanya, anak-anak dengan masalah kesehatan mental ditangani secara individual. Tapi, keindahan program ini adalah efektivitasnya pada tingkat sekolah secara menyeluruh, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan dukungan,” ujarnya melalui situs UCLA. Peneliti menemukan bahwa KiVa tidak hanya menekan angka kekerasan di sekolah, tetapi juga memperbaiki persepsi siswa terhadap lingkungan belajar mereka dan meningkatkan kesehatan mental secara umum.
Di Indonesia, pemerintah bisa meniru semangat yang sama dengan memperluas peran psikolog sekolah serta menciptakan kanal pelaporan rahasia bagi korban bullying. Selain itu, pendidikan mengenai “digital empathy” juga penting agar anak-anak belajar berinteraksi secara sehat di dunia maya. Dunia digital tidak perlu dianggap musuh, melainkan ruang baru yang harus dipahami dan dikelola dengan empati. Saat remaja diberi ruang aman untuk berekspresi dan bercerita, mereka akan memiliki mekanisme yang lebih sehat untuk mengelola emosi dan tekanan sosial. Hal ini jauh lebih efektif daripada sekadar membatasi akses bermain game.
Menyalahkan game atas tindakan kekerasan di kalangan pelajar adalah refleksi dari kegagalan melihat akar persoalan yang sebenarnya. Kekerasan tidak lahir dari layar gawai, melainkan dari lingkungan sosial yang membiarkan bullying tumbuh subur. Selama sistem sekolah tidak membangun budaya empati dan pendampingan psikologis yang kuat, tragedi serupa berpotensi akan terus berulang dengan bentuk berbeda.
Jadi, daripada sibuk mencari kambing hitam dari dunia digital, mengapa tidak mulai menyembuhkan luka sosial yang selama ini terabaikan? Banyak anak menemukan ketenangan di dunia game karena dunia nyata terlalu keras bagi mereka. Tugasnya bukan mengambil pelarian itu, tetapi menghadirkan ruang aman di dunia nyata agar mereka tak perlu terus bersembunyi di balik layar. Tanpa intervensi psikososial yang serius, tiap wacana pembatasan game hanya menjadi solusi semu yang "meninabobokan" nurani publik. Mungkin, sudah waktunya berhenti menyalahkan permainan dan mulai bertanya: Apa yang salah dengan cara mendidik dan mencintai anak-anak kita?