Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi internet
Ilustrasi internet (IDN Times/Arief Rahmat)

Intinya sih...

  • Kemkomdigi menyiapkan program strategis untuk pemerataan akses internet

  • Tantangan geografis dan ekonomi menghambat pemerataan internet cepat di luar Pulau Jawa

  • Satelit dan teknologi nirkabel menjadi harapan baru dalam mewujudkan internet cepat merata di Indonesia

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Akses internet berkecepatan tinggi di Indonesia masih menjadi impian besar bagi banyak masyarakat yang tinggal di luar Pulau Jawa. Meski kemajuan teknologi digital terus berkembang pesat, kesenjangan akses internet antara wilayah perkotaan di Jawa dan daerah terpencil di luar pulau tersebut masih terlihat jelas. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025, tingkat penetrasi internet di Pulau Jawa mencapai sekitar 84,69 persen. Sebaliknya, wilayah seperti Maluku, Papua, dan Sulawesi menunjukkan angka yang lebih rendah yakni di bawah 80 persen. Hal ini menandakan adanya ketimpangan konektivitas antardaerah.

Sementara itu, laporan GovInsider mengungkapkan bahwa jumlah penyedia layanan internet (ISP) di luar Pulau Jawa juga masih terbatas. Dari total 1.100 yang beroperasi di seluruh Indonesia, hanya sekitar 500 ISP saja yang berada di luar Pulau Jawa. Kondisi ini memperkuat dominasi infrastruktur digital di Jawa sekaligus memperlambat pertumbuhan layanan internet di daerah lainnya.

Dampaknya, masyarakat di luar Jawa kerap harus membayar tarif lebih tinggi untuk mendapatkan layanan internet yang justru lebih lambat dibandingkan kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Lantas, kapan internet cepat benar-benar bisa dinikmati secara merata di luar Pulau Jawa? Berikut penjelasan lengkapnya.

1. Kemkomdigi menyiapkan sejumlah program strategis untuk pemerataan akses internet

Pemerintah siapkan internet 100 Mbps untuk sekolah dan puskesmas blank spot (komdigi.go.id)

Untuk mengatasi kesenjangan akses internet, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) telah menyiapkan berbagai program strategis untuk memperluas akses dan meningkatkan penetrasi internet di wilayah yang belum tersentuh konektivitas. Salah satu langkah utama adalah penyediaan layanan internet tetap (fixed broadband) berkecepatan hingga 100 Mbps di kawasan blank spot atau daerah tanpa jaringan serat optik, mencakup fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, dan kantor desa. Dalam upaya ini, Kemkomdigi juga aktif berdiskusi dengan sejumlah operator seluler untuk memastikan kebijakan tersebut berjalan efektif, sekaligus membuka peluang bagi pengembangan jaringan internet tetap berkecepatan tinggi di area yang selama ini sulit dijangkau infrastruktur digital.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Kemkomdigi, sekitar 86 persen sekolah (190.000 unit) masih belum memiliki akses internet tetap. Kondisi serupa terjadi pada 75 persen puskesmas (7.800 unit) yang belum terkoneksi secara optimal, serta 32.000 kantor desa yang masih berada di zona tanpa jaringan (blank spot). Sementara itu, tingkat penetrasi fixed broadband baru mencapai 21,31 persen rumah tangga di seluruh Indonesia. Melalui program pemerataan ini, pemerintah berharap layanan publik di luar Pulau Jawa, seperti sekolah, fasilitas kesehatan, dan kantor pemerintahan daerah, dapat segera menikmati koneksi internet cepat dan stabil.

Langkah strategis berikutnya adalah penguatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai bagian dari program Prioritas Nasional untuk mempercepat pemerataan akses internet. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran, inisiatif ini mencakup proyek Palapa Ring, yaitu pembangunan jaringan tulang punggung (backbone) serat optik nasional di wilayah non-komersial atau daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Selain Palapa Ring, pemerintah juga membangun Base Transceiver Station (BTS) guna menghadirkan layanan mobile broadband di kawasan yang belum terlayani jaringan telekomunikasi seluler. Tak hanya itu, penyediaan akses internet juga menyasar titik-titik layanan publik seperti sekolah, puskesmas, balai latihan kerja, kantor pemerintahan daerah, hingga pos lintas batas negara, sebagai bagian dari upaya mewujudkan konektivitas digital yang merata dari pusat hingga daerah.

Program ketiga yang tak kalah penting adalah peluncuran Satelit Nusantara Lima (N5) dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX. Peluncuran bersejarah ini dapat disaksikan secara langsung pada Jumat, 12 September 2025 waktu Indonesia melalui platform media sosial X dan situs resmi SpaceX. Satelit yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT Satelit Nusantara Lima (SNL) ini akan menempati slot orbit 113° Bujur Timur, yang dikenal sebagai golden spot karena mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, terutama wilayah bagian timur yang selama ini minim konektivitas. Posisi ini sangat strategis mengingat secara astronomis Indonesia terletak antara 95° hingga 141° Bujur Timur, sehingga cakupan sinyalnya dapat menjangkau seluruh nusantara secara efektif.

Dengan kehadiran Satelit Nusantara Lima, total kapasitas satelit nasional Indonesia kini hampir mencapai 400 Gbps, menjadikannya salah satu yang terbesar di kawasan Asia Pasifik. Satelit ini mengusung teknologi Very High Throughput Satellite (VHTS) yang mampu menyediakan bandwidth besar dan kecepatan transmisi data tinggi. Delapan stasiun bumi (gateway) telah dibangun di Banda Aceh, Bengkulu, Cikarang, Gresik, Banjarmasin, Tarakan, Kupang, dan Makassar, guna memperkuat kontrol dan kapasitas jaringan komunikasi. Selain mempercepat pemerataan akses internet di wilayah 3T, Satelit Nusantara Lima juga berperan penting dalam menopang transformasi digital nasional, memperkuat ekonomi digital, serta menjaga kedaulatan data dan ketahanan komunikasi Indonesia. Kehadirannya menjadi simbol kemandirian bangsa di bidang teknologi satelit dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai salah satu pemimpin satelit terdepan di Asia.

2. Tantangan geografis dan ekonomi yang menghambat pemerataan

Menara jaringan 5G (commons.wikimedia.org/Fabian Horst)

Meski berbagai program perluasan jaringan telah digulirkan dan tengah berjalan, pemerataan internet cepat di luar Pulau Jawa masih menjadi tantangan besar. Menurut laporan KumparanTech (13/10/2025), Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menilai bahwa target pemerataan akses internet berkecepatan 100 Mbps masih menghadapi banyak hambatan. Ketua Umum ATSI sekaligus Direktur Utama Telkom, Dian Siswarini, menjelaskan bahwa kesenjangan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa menjadi faktor paling krusial dalam mewujudkan target tersebut.

Dian menerangkan bahwa untuk mencapai kecepatan internet hingga 100 Mbps, dibutuhkan jaringan serat optik (fiber optic) yang andal, mencakup tidak hanya jalur utama (backbone) tetapi juga jaringan akses menuju pengguna akhir. Namun, biaya pembangunan infrastruktur di luar Jawa masih tergolong tinggi karena keterbatasan fasilitas dasar seperti listrik dan transportasi yang belum merata. Ia juga menekankan bahwa operator perlu memperhitungkan struktur biaya dan daya beli masyarakat sebelum memperluas jaringan. Selain itu, jika layanan 100 Mbps hendak disalurkan melalui jaringan seluler, dukungan perangkat dan spektrum 5G menjadi syarat mutlak.

“Kalau ini (internet 100 Mbps) disalurkan melalui fiber optic, bagaimana operator bisa mendapatkan infrastruktur yang lebih baik. Kedua, kalau akan diberikan layanan ini melalui seluler tentu memerlukan perangkat 5G, karena memberikan layanan 100 Mbps dengan spektrum yang ada sekarang di 4G itu masih belum cukup,” ujar Dian Siswarini, dikutip KumparanTech, Senin (13/10/2025).

Sementara itu, laporan GovInsider mencatat bahwa faktor geografis juga berperan besar dalam tingginya biaya pembangunan jaringan di luar Jawa. Kondisi kepulauan, wilayah pegunungan, serta jarak antardaerah membuat biaya pembangunan infrastruktur bisa mencapai empat kali lipat dibandingkan di Pulau Jawa. Tak hanya itu, banyak wilayah di luar Jawa masih kekurangan infrastruktur dasar seperti listrik stabil dan akses transportasi yang memadai, sehingga memperlambat penggelaran jaringan serat optik.

Selain faktor teknis, persoalan daya beli masyarakat dan skala ekonomi lokal juga menjadi pertimbangan utama bagi operator. Di banyak daerah, potensi pengguna internet cepat masih rendah, sementara harga langganan belum sebanding dengan kemampuan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya, meski secara teknis jaringan berkecepatan tinggi bisa dibangun, operator sering kali menunda ekspansi karena dinilai belum layak secara finansial. Kondisi inilah yang membuat pemerataan konektivitas digital di luar Jawa berjalan lebih lambat dibandingkan kawasan perkotaan di Pulau Jawa.

3. Satelit dan teknologi nirkabel menjadi harapan baru

Satelit Nusantara Lima (N5) (psn.co.id)

Pemerintah juga melirik teknologi satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) sebagai solusi alternatif. Teknologi ini mampu menyediakan internet berkecepatan tinggi tanpa perlu pembangunan jaringan kabel yang mahal dan sulit dijangkau. Melalui koneksi langsung dari orbit rendah, sinyal dapat diterima lebih cepat dan stabil, terutama di daerah pegunungan serta kepulauan.

Melansir situs resmi Komdigi, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menjajaki kerja sama strategis bersama Amazon Kuiper, proyek satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) milik Amazon. Kolaborasi ini diharapkan memperluas konektivitas digital di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), sekaligus mendukung transformasi digital nasional. Amazon Kuiper juga tengah mengajukan izin operasional di Indonesia, mencakup lisensi telekomunikasi serta hak peminjaman satelit, sesuai regulasi terbaru yang memungkinkan perusahaan asing beroperasi melalui Nomor Induk Berusaha (NIB).

Selain satelit, pemerintah turut mendorong pemanfaatan teknologi terbaru seperti Wi-Fi 7, yang mulai diuji di Bali dengan kecepatan mencapai 2 Gbps pada awal Oktober 2025. Inovasi ini diharapkan menjadi contoh penerapan teknologi digital modern yang dapat diadaptasi di wilayah lain. Melalui kombinasi teknologi serat optik dan nirkabel, diharapkan akses internet cepat di luar Pulau Jawa tidak lagi sekadar wacana, tetapi benar-benar terwujud dalam beberapa tahun mendatang. Wi-Fi 7 sendiri digadang mampu mencapai kecepatan 2 Gbps. Sebagai catatan, rerata kecepatan internet di Indonesia menurut Speedtest Global Index edisi Agustus 2025 oleh Ookla mencapai 45,01 Mbps. Artinya, kehadiran Wi-Fi 7 akan membuat kecepatan internet di Indonesia semakin kencang.

4. Proyeksi pemerataan internet cepat

ilustrasi broadband internet router (unsplash.com/Compare Fibre)

Berdasarkan proyeksi dari MyCarrier Telkom Indonesia, kecepatan internet rata-rata nasional diperkirakan dapat mencapai 200–300 Mbps untuk jaringan fixed broadband (rumah tangga) dan sekitar 100–150 Mbps untuk mobile broadband (seluler) dalam lima tahun mendatang. Meski demikian, peningkatan ini akan berlangsung secara bertahap. Dalam beberapa tahun ke depan, jaringan fixed broadband berkecepatan tinggi diharapkan mulai menjangkau kawasan permukiman di tingkat kabupaten dan kota-kota kecil di luar Pulau Jawa.

Kendati target tersebut terbilang ambisius, realisasinya di lapangan masih sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Di antaranya adalah komitmen pemerintah daerah dalam mendukung percepatan infrastruktur, insentif investasi bagi operator telekomunikasi, serta kesiapan masyarakat dalam mengadopsi layanan digital. Berkat dukungan teknologi satelit orbit rendah, perluasan jaringan serat optik, dan kolaborasi antara sektor swasta serta pemerintah, peluang pemerataan internet cepat di luar Jawa semakin terbuka. Namun, masyarakat tampaknya masih perlu bersabar hingga seluruh wilayah benar-benar merasakannya secara merata.

Pemerataan internet cepat sejatinya bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga tentang pemerataan akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan pelayanan publik. Apabila langkah pemerintah dan pelaku industri dapat berjalan seiring, maka akses internet 100 Mbps bukan lagi sebatas angan bagi masyarakat di luar Jawa. Kebijakan yang menekankan efisiensi biaya dan percepatan investasi akan menjadi kunci tercapainya transformasi digital yang inklusif. Melalui strategi pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, Indonesia tengah berupaya mewujudkan konektivitas yang merata dari Sabang hingga Merauke, agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat internet cepat yang menyatukan Nusantara.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team