ilustrasi guru memberikan materi kepada anak (pexels.com/Yan Krukau)
Masalah mendasar seperti rendahnya tingkat literasi membaca dan berhitung di kalangan siswa SD-SMP di Indonesia masih menjadi hambatan signifikan. Banyak siswa yang belum menguasai keterampilan dasar ini sehingga menambah beban bagi guru yang harus mengenalkan teknologi canggih seperti coding. Tanpa landasan yang kuat dalam kemampuan membaca, berhitung dan berpikir kritis, upaya memperkenalkan coding bisa menjadi sekadar formalitas yang tidak memberikan dampak berarti.
Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan dari sisi budaya. Di masyarakat, pembelajaran akademis yang berbasis hafalan sering kali dianggap lebih penting, sementara keterampilan praktis seperti coding dan pemrograman masih dipandang sebagai tambahan yang tidak vital. Hal ini berbeda dengan India, di mana keterampilan teknologi dihargai setara dengan mata pelajaran akademis lainnya.
Namun, ada peluang yang bisa ditangkap dari hal ini. Peningkatan skor literasi digital Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya progres meski masih relatif lambat jika dibandingkan dengan India. Peningkatan ini menandakan adanya kesadaran untuk berubah. Melalui inisiatif seperti Gerakan Nasional Literasi Digital (SiBerkreasi) yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital), ada harapan bahwa kesenjangan ini dapat semakin mengecil dalam beberapa tahun mendatang. Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa program literasi digital dan pengenalan coding di sekolah-sekolah tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga melibatkan pendidikan etika dan karakter. Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, sangat penting untuk memastikan bahwa generasi muda tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga bijak dalam menerapkan keterampilan tersebut untuk kepentingan bersama.
Meski usulan untuk menambahkan coding dalam kurikulum SD-SMP relevan dengan kebutuhan zaman, kemampuan coding saja tidak cukup. Di era digital yang makin terhubung, siswa juga harus memahami etika digital, etika bermedia sosial secara bijak, privasi, keamanan data, dan tanggung jawab sosial.
Apalagi, melansir The Conversation, anak-anak merupakan kelompok paling rentan menjadi korban negatif dalam ruang maya Indonesia yang berisiko terpapar sehingga membuat mereka menjadi target demografi yang penting untuk menjadi sasaran literasi digital yang holistik. Bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, aman, dan etis yang perlu ditekankan. Jika coding terlalu fokus tanpa pemahaman etika, kita berisiko melahirkan generasi yang mahir secara teknis, namun, kurang bijaksana dalam menggunakan pengetahuannya. Tanpa etika yang kuat, keterampilan teknologi bisa disalahgunakan, misalnya untuk cyberbullying, penyebaran hoaks, komentar di media sosial yang bernada sarkas maupun ujaran kebencian, atau aktivitas siber negatif lainnya.
Oleh karena itu, pendidikan etika harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kurikulum, terutama di tingkat SD dan SMP, di mana anak-anak sedang membentuk pola pikir dan kebiasaan mereka. Pendekatan terbaik mungkin adalah integrasi pembelajaran coding dengan nilai-nilai etika. Misalnya, siswa bisa diajarkan tentang tanggung jawab dalam menciptakan program yang tidak merugikan orang lain, menghormati hak cipta, serta melindungi privasi pengguna. Selain memperkenalkan bahasa pemrograman, kurikulum yang lebih komprehensif seharusnya mencakup pelatihan tentang literasi digital, kesadaran keamanan siber, serta etika berkomunikasi di dunia maya. Hal ini penting agar siswa tidak hanya menjadi pengguna yang cerdas, tetapi juga warga digital yang bertanggung jawab dan memiliki integritas.
Dari diskursus ini, penulis menyimpulkan bahwa gagasan untuk memperkenalkan coding di Indonesia sangat relevan dan dapat diterapkan di masa sekarang. Wakil Presiden benar-benar menaruh harapan besar untuk membenahi sistem pendidikan di negeri ini. Namun, seperti pepatah yang mengatakan "adab di atas ilmu," kita juga perlu memastikan bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moral. Dengan kata lain, dalam mengejar kemajuan di bidang teknologi, kita tidak boleh mengabaikan prinsip dasar yang membangun masyarakat beretika dan penuh empati. Menerapkan pelajaran coding memang penting untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia digital, tetapi tanpa adab yang baik, keterampilan tersebut bisa disalahgunakan.
Pendekatan yang ideal adalah pendekatan yang integratif, di mana pembelajaran coding diimbangi dengan pendidikan tentang etika dan tanggung jawab sosial. Dengan cara ini, siswa tidak hanya menjadi lebih cerdas secara teknis, tetapi juga individu yang bertanggung jawab, berperilaku baik, dan siap menggunakan keterampilan mereka untuk kebaikan bersama. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya akan menghasilkan generasi yang mahir dalam teknologi, tetapi juga generasi yang berbudi luhur dan siap membangun masa depan yang lebih baik melalui wujud generasi Indonesia Emas 2045.