ilustrasi logo ChatGPT (unsplash.com/Solen Feyissa)
Mengingat ChatGPT masih menjadi andalan untuk memahami informasi, para ahli menyarankan pengguna perlu berhati-hati dan berpikir kritis. Penting untuk memperlakukan AI sebagai sumber edukasi, bukan sebagai pembuat keputusan diagnosis yang final. Pengguna harus mengingat keterbatasan AI, seperti potensi untuk mengarang informasi atau membuat kesalahan faktual yang berbahaya.
Salah satu cara untuk menguji kemampuannya adalah dengan berlatih bertanya pada saat risiko rendah. Dr. Robert Pearl, seorang penulis, menyarankan untuk membandingkan jawaban chatbot dan dokter untuk memahami kekuatan dan keterbatasan AI. Jika kamu menghadapi kondisi serius, seperti kelumpuhan wajah di satu sisi, chatbot justru akan merekomendasikanmu untuk segera menghubungi profesional.
Untuk pertanyaan medis yang lebih spesifik, kamu bisa memberikan konteks lebih banyak, seperti usia atau riwayat medis, agar jawaban AI lebih personal. Namun, perlu diwaspadai masalah privasi, karena sebagian besar chatbot populer masih belum terikat regulasi yang jelas. Oleh karena itu, hindari membagikan detail sensitif seperti rekam medis lengkap.
Selanjutnya, selalu bersikap skeptis terhadap informasi dan minta chatbot untuk memberikan sumber informasinya. Dr. Ainsley MacLean, yang fokus pada AI kesehatan, menekankan bahwa pengguna harus tetap menjadi pihak yang paling terlibat dalam pencarian data kesehatan.
"Tidak ada yang peduli pada kesehatanmu melebihi dirimu sendiri," katanya, dikutip dari The New York Times.
Intinya, peran AI dalam topik kesehatan adalah sebagai sumber edukasi, bukan sebagai pengganti keputusan diagnosis. Pengguna ChatGPT sebaiknya memperlakukan AI sebagai alat bantu, bukan pengambil keputusan akhir. Kamu tetaplah pemegang kendali penuh atas kesehatanmu, jadi pastikan setiap saran AI selalu dicek silang dengan profesional medis.