Lewat pendekatan incoding, Joy mengajak kita merefleksikan tiga hal penting yaitu who codes, how we code, and why we code (youtube.com/TED)
Joy menawarkan harapan bahwa setelah bias dikenali dan ditumbangkan, yang akan terbit adalah keadilan algoritma. Ia percaya bahwa sistem yang adil bukanlah mimpi, melainkan buah dari keputusan sadar atas tiga pertanyaan mendasar yang menjadi inti gerakannya: siapa yang menulis kode, bagaimana kode itu ditulis, dan untuk tujuan apa kode itu digunakan. Bagi Joy, coding bukan sekadar urusan sintaks dan fungsi, tapi juga tanggung jawab moral dan arah sosial. Lewat pendekatan “incoding,” Joy mengajak kita merefleksikan tiga hal penting: who codes, how we code, and why we code.
Ia berhasil mengemas perlawanan terhadap ketidakadilan dalam narasi yang menggugah dan menginspirasi. Berkat kecerdasan teknis dan ketajaman sosial, Joy menyulap kisah pribadinya menjadi gerakan global. Ia membuktikan bahwa ketika kita mampu membongkar bias tersembunyi dalam sistem, kita juga mampu membangun teknologi yang lebih adil bagi semua. Di dunia tempat wajah bisa menentukan apakah seseorang dikenali atau diabaikan, Joy hadir untuk memastikan bahwa tak ada lagi yang tak terlihat. Karena di balik layar, keadilan pun bisa dikodekan.
Jika Kartini menggugat pingitan lewat tulisan, maka Joy menggugat diskriminasi digital lewat algoritma. Keduanya menghadapi sistem yang tidak adil. Bedanya, Kartini melawan penjajahan kolonial, sementara Joy menantang penjajahan data yang membutakan mesin terhadap keragaman manusia.
Melalui proyek “Selfies for Inclusion,” Joy mengajak publik untuk turut serta menciptakan training sets yang lebih inklusif. Ia ingin agar wajah-wajah dari seluruh spektrum manusia hadir dalam data pelatihan, agar AI tak lagi hanya mengenali “yang biasa,” tapi juga “yang berbeda.” Joy mengingatkan kita bahwa algoritma bukan sekadar kumpulan rumus tanpa nyawa. Mereka bisa bias, bisa buta, bahkan bisa membisu.
Dalam setiap baris kode yang ia tulis dan rajut, ada semangat "Kartini" yang hidup kembali. Bukan dalam bentuk surat kepada sahabatnya di Belanda, tapi dalam bentuk machine learning models yang lebih adil. Joy Buolamwini telah membuktikan bahwa di tengah sunyinya dunia algoritma, perempuan bisa menciptakan riuh. Riuh yang membuka mata. Riuh yang tak lagi bisu.