5 Kota Kuno di China yang Masih Aktif Ditinggali Warga Lokal

China punya sejarah ribuan tahun yang tersimpan bukan hanya di naskah kuno atau museum, tapi juga dalam lanskap kota yang masih hidup sampai sekarang. Beberapa kota kuno di China gak cuma jadi objek wisata yang dibekukan waktu, tapi juga jadi tempat tinggal bagi warga lokal yang terus melanjutkan hidup dengan tradisi leluhur mereka.
Berjalan di gang-gang sempit kota-kota ini seperti masuk ke lorong waktu. Tembok batu, rumah-rumah kayu tua, dan suasana yang nyaris gak berubah selama ratusan tahun, justru menjadi daya tarik kuat. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana kota-kota ini tetap aktif ditinggali, bukan hanya jadi tempat turis datang, foto-foto, lalu pergi.
1. Lijiang, Provinsi Yunnan
Kota tua Lijiang sudah ada sejak Dinasti Song dan sampai sekarang masih jadi rumah bagi etnis Naxi. Suasana kunonya sangat kental dengan jalanan berbatu, kanal-kanal kecil yang mengalir di antara rumah-rumah tua, dan langit-langit kayu berukir halus. Setiap sudut kota ini terasa seperti lukisan hidup yang bergerak mengikuti aktivitas warga sehari-hari.
Meski Lijiang sudah terkenal secara global, kehidupan warga lokal tetap berjalan seperti biasa. Banyak penduduk asli masih menenun kain tradisional, menjual hasil pertanian, dan menyelenggarakan ritual budaya. Gak heran kalau kota ini dianggap sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Lijiang bukan cuma cantik, tapi juga penuh kehidupan. Perpaduan budaya, alam, dan sejarah yang tetap hidup menjadikan kota ini unik. Rasanya sulit gak terpesona oleh pesona Lijiang yang klasik tapi dinamis.
2. Pingyao, Provinsi Shanxi
Pingyao adalah salah satu kota berdinding kuno paling terawat di China. Kota ini pernah jadi pusat keuangan penting di masa Dinasti Qing, dan sampai hari ini, bentuk aslinya nyaris gak berubah. Tembok kotanya masih berdiri kokoh, melingkari rumah-rumah dan toko-toko dengan arsitektur khas zaman kekaisaran.
Pingyao terlihat istimewa karena kenyataan bahwa banyak warganya masih tinggal di dalam tembok kota tua ini. Aktivitas sehari-hari seperti belanja di pasar tradisional atau minum teh di halaman rumah batu tetap berlangsung tanpa dibuat-buat. Turis datang dan pergi, tapi detak kehidupan di dalam kota ini gak pernah mati.
Pingyao terasa seperti potongan masa lalu yang masih berdetak. Kota ini bukan sekadar lokasi wisata, tapi juga tempat tinggal yang mempertahankan tradisi tanpa kehilangan relevansi. Di sinilah waktu seperti bergerak lebih lambat, tapi tetap terasa hangat.
3. Dali, Provinsi Yunnan
Dali pernah jadi ibu kota kerajaan Nanzhao dan tetap hidup sebagai kota yang memelihara kekayaan budaya Bai. Letaknya yang diapit pegunungan Cangshan dan Danau Erhai menambah kesan damai pada kota tua ini. Jalan-jalan di Dali dipenuhi bangunan tradisional dengan atap melengkung dan motif-motif khas suku Bai.
Meski sudah populer di kalangan wisatawan, Dali tetap jadi rumah bagi komunitas lokal yang berpegang pada nilai budaya. Toko-toko kecil menjual kerajinan tangan, dan pasar-pasar tradisional tetap ramai setiap pagi. Banyak warga juga masih menjalani profesi turun-temurun seperti pengrajin perak dan pembuat pakaian adat.
Dali mengajarkan bahwa kota bisa maju tanpa kehilangan jati diri. Perpaduan alam, sejarah, dan masyarakat yang hidup berdampingan membuat Dali terasa seimbang. Siapa pun yang datang ke sini bisa melihat bahwa kehidupan tradisional gak harus dikorbankan demi modernisasi.
4. Fenghuang, Provinsi Hunan
Fenghuang atau “Phoenix Ancient Town” berdiri di atas sungai Tuojiang dan dikenal sebagai kota kuno yang menyimpan nuansa mistis. Rumah-rumah kayu yang menggantung di tepi sungai menciptakan lanskap yang ikonik dan romantis. Kota ini memiliki nilai sejarah tinggi karena pernah jadi tempat tinggal tokoh-tokoh literatur dan militer ternama.
Hingga kini, Fenghuang masih aktif ditinggali oleh etnis Miao dan Tujia. Masyarakatnya tetap menjalani kehidupan tradisional seperti membuat kain tenun dan memainkan alat musik khas daerah pegunungan. Para penduduk tinggal berdampingan dengan turis, tanpa mengubah cara hidup mereka yang diwariskan turun-temurun.
Fenghuang seperti kota dalam dongeng yang tetap hidup di dunia nyata. Pesonanya gak hanya ada di arsitektur atau pemandangan, tapi juga pada kehidupan asli yang tetap berdetak dari generasi ke generasi. Kota ini menawarkan keindahan sekaligus ketulusan dalam menyambut siapa pun yang datang.
5. Huizhou (Tunxi), Provinsi Anhui
Huizhou dikenal dengan gaya arsitektur khas yang disebut “Hui Style,” ditandai dengan tembok putih, atap hitam, dan tata ruang rumah yang tertata rapi. Kota ini adalah pusat budaya pedagang kaya dari Dinasti Ming dan Qing, yang membangun rumah-rumah besar dengan ukiran kayu rumit dan halaman dalam luas. Sampai sekarang, kawasan seperti Tunxi Old Street masih sangat aktif.
Warga lokal masih banyak yang tinggal di rumah-rumah kuno warisan keluarga, sambil menjalankan bisnis teh, kerajinan tinta, dan makanan khas. Kehidupan di Huizhou terasa terjaga tanpa terlalu banyak sentuhan komersial yang berlebihan. Anak-anak bermain di gang-gang sempit, dan orang tua bercengkerama di teras rumah batu, semua berjalan alami.
Huizhou adalah contoh nyata bahwa kota bisa tetap hidup tanpa harus kehilangan bentuk aslinya. Dengan keteguhan menjaga warisan leluhur, kota ini gak hanya indah secara visual, tapi juga bermakna secara historis. Setiap langkah di Huizhou seperti membuka halaman buku sejarah yang masih ditulis hingga hari ini.
Melihat kota-kota seperti Lijiang, Pingyao, dan Fenghuang, terasa bahwa masa lalu dan masa kini bisa hidup berdampingan. Warisan budaya gak harus terpisah dari kehidupan sehari-hari. Selama masih ada yang tinggal dan menjaga, kota kuno itu gak akan pernah benar-benar mati.