Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
tradisi musim gugur di Jepang yang jarang diketahui turis
tradisi musim gugur di Jepang yang jarang diketahui turis (commons.wikimedia.org/Peter 111)

Peralihan dari musim panas ke musim gugur di Jepang selalu menghadirkan suasana yang sulit dilupakan. Udara menjadi lebih sejuk, daun-daun berubah warna menjadi merah dan keemasan, serta aroma tanah lembap bercampur wangi bunga krisan mulai terasa di setiap sudut kota. Bagi banyak orang, musim gugur di Jepang bukan hanya tentang keindahan alam, melainkan juga momen ketika masyarakatnya merayakan berbagai tradisi yang jarang tersorot wisatawan.

Setiap perayaan diadakan dengan filosofi, berakar pada hubungan manusia dengan alam, serta cara menghargai perubahan waktu yang berlangsung. Meski banyak turis datang untuk melihat momiji atau dedaunan merah, masih ada berbagai tradisi unik yang justru tidak banyak diketahui. Berikut lima tradisi musim gugur di Jepang yang jarang disadari oleh turis.

1. Orang Jepang menyambut musim panen dengan Festival Tsukimi

Festival Tsukimi (commons.wikimedia.org/katorisi)

Tsukimi atau melihat bulan adalah tradisi kuno yang merayakan keindahan bulan purnama di awal musim gugur. Pada momen ini, masyarakat Jepang menata persembahan seperti dango (kue beras putih), talas, dan hasil panen pertama di halaman rumah atau kuil sambil menikmati cahaya bulan. Tradisi ini bukan sekadar pesta melihat langit, tetapi bentuk penghormatan terhadap alam dan rasa syukur atas hasil bumi. Cahaya bulan dipercaya melambangkan keseimbangan, kesempurnaan, dan ketenangan batin setelah masa kerja keras selama musim panas.

Meski sederhana, Tsukimi membawa makna yang mendalam tentang kesadaran diri. Banyak keluarga modern di Jepang tetap menjaga tradisi ini, bahkan di tengah kesibukan kota besar seperti Tokyo. Mereka menyalakan lilin, menikmati teh hijau, dan berbagi cerita sambil menatap bulan. Tradisi ini menjadi cara untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan mengingat bahwa setiap fase bulan seperti kehidupan manusia punya waktunya sendiri untuk bersinar.

2. Masyarakat Jepang mengungkapkan rasa syukur lewat Kinrō Kansha no Hi

Kinrō Kansha no Hi (commons.wikimedia.org/宗教法人英彦山神宮)

Pada akhir November, Jepang merayakan Kinrō Kansha no Hi atau Hari Penghargaan Pekerja alias Thanksgiving. Momen ini berawal dari tradisi kuno bernama Niiname-sai, yaitu ritual persembahan hasil panen kepada para dewa. Kini, perayaan tersebut berkembang menjadi hari nasional yang menghormati kerja keras dan rasa saling menghargai antarpekerja. Di musim gugur, perayaan ini seakan menjadi penutup yang hangat sebelum memasuki musim dingin.

Uniknya, tidak ada pesta besar atau parade meriah seperti perayaan nasional di negara lain. Masyarakat Jepang justru memperingatinya dengan cara sederhana yakni dengan mengucapkan terima kasih, memberi hadiah kecil pada rekan kerja, atau menghabiskan waktu bersama keluarga. Esensi dari Kinrō Kansha no Hi terletak pada kesadaran sosial, bagaimana setiap orang punya peran penting dalam keberlangsungan hidup bersama.

3. Para petani dan penduduk desa mengadakan Hōjō-e sebagai bentuk cinta alam

Hōjō-e (commons.wikimedia.org/Wonderlane)

Hōjō-e adalah upacara Buddhis yang diadakan untuk membebaskan hewan-hewan dari penangkaran atau penyiksaan. Tradisi ini biasanya dilakukan di kuil pada musim gugur, saat panen berakhir dan alam mulai beristirahat. Hōjō-e memiliki pesan moral yang kuat yaitu manusia tidak hanya mengambil dari alam, tetapi juga harus memberi kesempatan pada makhluk lain untuk hidup damai. Dalam beberapa daerah, pelepasan ikan atau burung menjadi simbol pengampunan dan keseimbangan kehidupan.

Tradisi ini sering kali tidak diketahui turis karena tidak dipromosikan secara besar-besaran. Namun, bagi masyarakat lokal, Hōjō-e adalah wujud refleksi spiritual yang penting. Mereka percaya bahwa menghormati kehidupan makhluk lain adalah bagian dari menjaga keseimbangan alam semesta. Melihat upacara ini secara langsung memberi pandangan baru tentang bagaimana masyarakat Jepang memahami hubungan manusia dengan alam.

4. Keluarga Jepang menikmati tradisi momijigari dengan pendekatan meditatif

Momijigari (commons.wikimedia.org/Tail furry)

Momijigari atau “berburu daun merah” memang sudah dikenal banyak wisatawan, tetapi makna sejatinya sering terlewat. Tradisi ini tidak sekadar kegiatan wisata menikmati dedaunan yang berubah warna, melainkan bentuk praktik kesadaran penuh terhadap perubahan alam. Dalam budaya Jepang, melihat daun yang gugur adalah cara untuk menerima siklus hidup bahwa setiap keindahan memiliki waktunya untuk berakhir.

Beberapa keluarga Jepang bahkan menjadikan momijigari sebagai kegiatan tahunan yang dilakukan dengan tenang. Mereka berjalan di taman, membawa bekal sederhana, dan mengamati perubahan warna daun tanpa banyak berbicara. Tradisi ini mengajarkan pentingnya keheningan dan perhatian terhadap hal-hal kecil di sekitar. Bagi masyarakat Jepang, keindahan musim gugur bukan hanya menikmati keindahan visual, tetapi juga pengalaman hidup yang mengajarkan mereka mengenai ketenangan dan penerimaan.

5. Komunitas lokal menggelar Jidai Matsuri untuk menghormati sejarah

Jidai Matsuri (commons.wikimedia.org/Corpse Reviver)

Jidai Matsuri atau Festival Zaman diadakan setiap Oktober di Kyoto, salah satu kota dengan sejarah terpanjang di Jepang. Festival ini menampilkan parade besar yang menggambarkan perjalanan sejarah Jepang dari masa kuno hingga era modern. Para peserta mengenakan pakaian tradisional lengkap dan berjalan melewati jalanan kota dengan tertib, seolah waktu berhenti sejenak untuk menghormati masa lalu.

Di balik kemegahan visualnya, Jidai Matsuri memiliki pesan bahwa menghargai masa lalu adalah cara memahami kita di masa kini. Bagi masyarakat Kyoto, festival ini bukan sekadar tontonan, tetapi cara menjaga ingatan kolektif tentang perjuangan leluhur dan perubahan zaman. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana Jepang menempatkan sejarah sebagai bagian hidup yang terus dihidupkan kembali, bukan sekadar diorama yang disimpan di museum.

Musim gugur di Jepang memang selalu memikat, tidak hanya karena warna alamnya, tetapi juga tradisi yang hidup di setiap sudutnya. Setiap ritual dan perayaan memiliki makna yang mengajarkan kesederhanaan, penghormatan terhadap alam, dan rasa syukur yang tulus. Mungkin, saat kamu berkunjung nanti, alih-alih sekadar memotret daun merah, kamu justru ingin merasakan bagaimana keheningan dan makna dari musim gugur itu sendiri. Anyway, tradisi mana yang paling membuatmu ingin merasakannya langsung?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team