Supaya tak terlampau capek, hari ini aku sengaja mengambil cuti. Padahal jadwal penerbangan ke Bali baru malam nanti. Lumayan, bisa menabung tenaga dengan tidur dari pagi sampai sore. Namun, rencana untuk terlelap malah gagal. Lebih banyak waktu dihabiskan buat mencari informasi selengkap-lengkapnya tentang destinasi utama yang nanti bakal dituju: Kampung Bena.
Banyak traveler yang sudah berhasil meninggalkan jejak di rumah adat yang namanya kesohor hingga mancanegara ini. Sayangnya, hanya segelintir yang melakoni perjalanan seorang diri. Artinya, mereka memilih travel agent untuk “menyetir” perjalanan. Beberapa lainnya datang beramai-ramai sehingga lebih gampang menjangkau tempat yang letaknya cukup tersembunyi itu, yakni dengan merental kendaraan dan menyewa sopir. Sedangkan aku harus jalan sendiri dengan keterbatasan dana serta waktu. Karenanya, tak memungkinkan buat menyewa kendaraan pribadi atau ikut travel agent. Pun, tantangannya berbeda. Lebih seru!
Beberapa informasi dikantongi setelah melakukan penelusuran di linimasa dunia maya selama kurang lebih lima jam. Segala hal terkait penginapan, akses dari bandara menuju lokasi, dan transportasi dari kota menuju kampung adat sudah tercatat rapi.
Menjelang tengah malam, burung besi membawa diri terbang menuju Pulau Seribu Pura. Lama perjalannya kurang lebih dua jam. Lantaran sudah petang, tak terlihat apa pun dari jendela. Karena itu, pilihan terbaik adalah tidur.
Bali, 14 Juli 2017
Pukul dua dinihari, Bandara Ngurahrai mengucapkan selamat datang. Tak mau berdiam di bandara sambil menunggu penerbangan ke Flores esok siang, aku pilih mencari penginapan yang terjangkau di sekitar Kuta. Lumayan, pagi nanti bisa jogging di pantai yang lekat dengan ikon Dewata itu.
Aku memilih sebuah motel di Jalan Puri Gerenceng dengan harga tak sampai Rp 100 ribu, namun dengan fasilitas lengkap. Ada kolam renang, AC di tiap kamar, bathroom kit, namun tak memperoleh sarapan.