ilustrasi polisi bandara (unsplash.com/loganweaver)
Peraturan tidak boleh membawa cairan lebih dari 100 ml ke dalam pesawat diawali dari insiden mengerikan yang terjadi pada 2006. Pada tahun tersebut, sebuah rencana teroris untuk meledakkan cairan peledak di pesawat tercium.
Bukan dalam bentuk bom atau barang padat, para teroris tersebut memanfaatkan cairan yang disamarkan sebagai minuman bersoda, seperti dilansir TravelingLight. Insiden tersebut terjadi dalam penerbangan ke Inggris menuju Amerika Serikat dan Kanada.
Pada saat itu, polisi tak sengaja membuka bagasi seseorang bernama Abdulla Ahmed Ali yang sebenarnya sudah dalam pengawasan. Di dalamnya, ditemukan tang, minuman ringan bubuk, dan sejumlah baterai besar. Polisi pun mencurigai Ali. Pada tersangka kedua, yakni Assad Sarwar, ditemukan botol hidrogen peroksida kosong yang dibuang di pusat daur ulang.
Masih dilansir TravelingLight, polisi membaca skema pengeboman tersebut. Semua perangkat di atas bakal dibuat dan diledakkan melalui minuman bersoda bernama Lucozade yang diisi hidrogen peroksida. Kemudian, jarum suntuk akan digunakan untuk menyuntikkan campuran ke dalam botol.
Setelah rencana tersebut digagalkan, tim bandara di seluruh dunia memberlakukan jumlah batasan cairan pada penumpang. Pasalnya, TSA (Transportation Security Administration), badan pemerintah Amerika Serikat yang bertanggung jawab dalam masalah keamanan penerbangan, tak bisa mengidentifikasi jenis cairan yang ada di dalam botol, meski menggunakan x-ray.