Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi liburan (unsplash.com/Giau Tran)
ilustrasi liburan (unsplash.com/Giau Tran)

Intinya sih...

  • Destinasi luar kota lebih menarik, membuat kota sendiri terlihat membosankan

  • Kurangnya rasa urgensi untuk mengeksplorasi kota sendiri karena tinggal di sana setiap hari

  • Mengasosiasikan liburan dengan perjalanan jauh, membuat tempat lokal diabaikan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak traveler rela menghabiskan waktu dan biaya untuk menjelajah ke luar kota, bahkan luar negeri. Namun, saat berbicara tentang kota tempat tinggal sendiri, semangat eksplorasi seakan menghilang begitu saja.

Fenomena ini terjadi bukan karena kota sendiri tidak menarik, tetapi lebih karena cara pandang yang sudah terbentuk sejak lama. Ada banyak alasan yang membuat seseorang cenderung melewatkan potensi wisata lokal yang sebenarnya bisa menjadi pengalaman tak kalah seru. Lantas, kenapa traveler jarang mengeksplorasi kota sendiri, ya? Temukan alasannya berikut ini, yuk!

1. Merasa destinasi luar kota lebih menarik

ilustrasi liburan (unsplash.com/Artem Beliaikin)

Banyak traveler cenderung menganggap destinasi di luar kota atau luar negeri lebih menarik dan layak dijelajahi. Tempat-tempat dengan label wisata populer, pemandangan baru, dan budaya berbeda sering kali lebih menggoda. Padahal, daya tarik tidak selalu terletak pada seberapa jauh lokasi itu.

Ketika kota sendiri terlihat terlalu akrab, pesonanya pun ikut memudar. Padahal, bisa saja ada spot-spot tersembunyi yang belum pernah dilihat atau dieksplorasi. Dengan mindset yang selalu mengarah ke tempat jauh, potensi keunikan lokal justru sering terlupakan. Traveler pun kehilangan kesempatan untuk menikmati sesuatu yang dekat, tapi tak kalah memikat.

2. Kurangnya rasa urgensi

ilustrasi liburan (unsplash.com/Westwind Air Service)

Karena tinggal di kota tersebut setiap hari, muncul anggapan bahwa eksplorasi bisa dilakukan kapan saja. Sayangnya, “kapan saja” sering kali berubah menjadi “tidak pernah." Aktivitas harian, rutinitas, dan rasa aman dalam zona nyaman membuat rencana eksplorasi lokal terus tertunda.

Hal ini sangat berbeda dengan saat menjelajah ke luar kota, yang butuh perencanaan dan jadwal khusus. Ada tekanan waktu yang membuat perjalanan terasa lebih penting untuk segera dilakukan. Sementara itu, kota sendiri terasa selalu ada, sehingga urgensi untuk mengeksplorasinya jadi sangat rendah.

3. Menganggap perjalanan harus jauh agar terasa seperti liburan

ilustrasi liburan (unsplash.com/Tom Tor)

Banyak yang mengasosiasikan liburan dengan perjalanan panjang, naik kendaraan selama berjam-jam, atau menyeberang pulau. Akibatnya, tempat-tempat menarik yang hanya berjarak satu kecamatan dianggap kurang sah untuk disebut sebagai destinasi wisata. Padahal, esensi dari liburan adalah perubahan suasana, bukan soal jarak.

Menjelajah tempat wisata kecil di pusat kota, mencoba jalur hiking di pinggiran, atau menikmati kuliner legendaris bisa menjadi pengalaman yang menyegarkan. Sayangnya, karena tidak memenuhi ekspektasi perjalanan besar, opsi ini sering diabaikan. Traveler pun melewatkan momen seru yang sebenarnya sangat mudah dijangkau.

4. Takut jika terkesan norak

ilustrasi liburan (unsplash.com/Jo San Diego)

Ada semacam stigma sosial di kalangan anak muda—terutama di era digital—bahwa terlihat seperti turis di kota sendiri bisa dianggap aneh atau norak. Mengambil foto dengan landmark kota, bertanya arah ke tempat wisata lokal, atau memakai outfit traveler kadang jadi sumber kekhawatiran tersendiri.

Padahal, menikmati kota sendiri dengan rasa ingin tahu justru merupakan bentuk kecintaan terhadap tempat tinggal. Tidak ada yang salah dengan menjadi turis di lingkungan yang sudah dikenal. Sering kali, justru lewat perspektif turis lokal inilah seseorang bisa menemukan sisi baru dari kota yang selama ini terasa biasa saja.

5. Sering dianggap sudah terlalu familier

ilustrasi liburan (unsplash.com/Fred Moon)

Kota tempat tinggal sering kali terasa terlalu akrab—jalanannya, bangunannya, hingga kebiasaannya. Karena rasa familiar ini, banyak orang berpikir tidak ada lagi yang bisa dieksplorasi. Ekspektasi akan kejutan dan pengalaman baru seolah tidak mungkin ditemukan di lingkungan yang setiap hari dilalui.

Namun, perspektif seperti ini justru bisa membatasi pengalaman pribadi. Kota sendiri terus berubah dan berkembang, entah dari sisi budaya, tempat baru, atau cerita sejarah yang belum sempat dikulik. Dengan membuka diri terhadap hal-hal yang sebelumnya diabaikan, potensi untuk menemukan sesuatu yang baru selalu ada, bahkan di tempat yang paling dikenal sekalipun.

Eksplorasi tidak harus selalu berarti pergi jauh. Justru dengan menjelajahi kota sendiri, banyak hal menarik bisa ditemukan dari sudut pandang yang berbeda. Traveler hanya perlu sedikit waktu, keberanian, dan rasa ingin tahu untuk melihat kota sendiri layaknya destinasi baru.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team